Habis, Sehabis Habisnya

Habis, Sehabis Habisnya

Habis sehabis-habisnya itulah kata yang tepat untuk menempatkan perhatian Mgr Rutten terhadap orang miskin. Ia meninggalkan kekayaan dan menjadi imam yang melayani orang miskin di kota Maastrich. Ia merintis sekolah bagi kaum muda agar mereka bisa belajar membaca dan menulis, serta mendapat ajaran agama.  Ia menyerahkan segala kepunyaannya untuk karya itu. Semangatnya mampu menggungah banyak orang untuk ikut serta dalam karya belaskasih itu. Untuk kelanjutan karyanya bagi orang miskin, ia mendirikan perkumpulan laki-laki (Bruder FIC) yang mengarahkan hidup secara total bagi pelayanan kepada orang miskin demi Kerajaan Allah.

Panggilan Rutten

Berbicara tentang Rutten tidak bisa dilepaskan dari awal mula hidup dan panggilannya. Ia berasal dari keluarga pengusaha bir di kota Maastrich. Rutten tidak mengalami kekurangan meskipun, pada waktu itu banyak orang miskin dan terlantar akibat industrialisasi dan revolusi Prancis. Ia masih bisa bersekolah, belajar berdansa, dan berkuda. Meski begitu, ia akhirnya tidak melanjutkan pendidikannya dan terjerumus kesenangan duniawi.

Rutten sempat membantu di kantor pamannya guna mempersiapkan diri jika nanti meneruskan usaha ayahnya. Di kantor itu, ia bertugas untuk menulis tagihan untuk penduduk kota dan para petani. Pekerjaan itu membuatnya enggan dan bosan.  Hal inilah yang membuat Rutten terus terbayang masa kecilnya dan mulai memikirkan masa depan dengan lebih sungguh. Memang Rutten mengalami kemerosotan iman, namun rupanya pendidikan yang diterimanya dari mendiang ibu dan neneknya cukup berakar mendalam. Sedikit demi sedikit Rutten merasa terpanggil untuk mengabdikan dirinya untuk sesama dengan menjadi imam.

Perjuangan menuju Imamat

Perjalanan panggilan seseorang unik dan penuh perjuangan. Itulah yang dialami Rutten. Ia mengalami pertobatan dan memutuskan menjadi imam. Perjalanannya untuk imamat tidak mulus. Ia berhadapan dengan ketakutan jika ayahnya tidak akan setuju. Ia akhirnya meminta pada ayahnya untuk bisa melanjutkan pendidikan tanpa mengutarakan niatnya untuk menjadi imam.

Rutten juga berjuang dengan studinya. Ia yang telah lama tidak belajar harus berjuang dua kali lipat untuk mengejar ketertinggalannya selama masa pendidikan. Sebelum berangkat ke seminari ia kembali ragu antara menjadi imam atau masuk militer untuk ikut meredam pemberontakan Belgia pada waktu itu. Berkat bapa pengakuannya ia kembali pada panggilannya untuk menjadi imam.

Setelah itu ia berangkat ke seminari di Kota Luik. Baru pertengahan tahun, kebijakan baru dari komandan kota Maastrich melarang siswa yang menamatkan studi di Luik untuk berlibur dan bekerja di kota Maastrich. Rutten akhirnya memutuskan pindah ke Seminari yang baru buka di kota Den Bosch. Den Bosch masih jauh dari seminari di Luik. Rutten sempat kecewa, meski begitu akhirnya ia bertekad untuk beradaptasi demi cita-citanya melayani sesama dengan menjadi imam.

Karisma Rutten

Rutten berkeinginan untuk bermisi. Hanya saja itu tidak mungkin mengingat kesehatannya yang kurang baik. Pergulatannya ini, kerap ia bicarakan dengan pemimpin seminari. Menurut pemimpin seminari, pengajaran katekismus bagi anak-anak dan remaja begitu penting. Rutten tekesan dengan pemikiran ini. Oleh karena itu, Rutten semakin terbuka bahwa pendidikan bagi kaum miskin sangat dibutuhkan.

Hal ini tidak mengherankan karena Rutten muda telah melihat dari dekat kemiskinan dan kesengsaraan di kota kelahirannya.  Untuk itu, setelah Rutten ditahbiskan, ia bertekad untuk kembali ke Maastrich dan merelakan dirinya untuk karya pendidikan anak-anak miskin. Keputusannya ini didukung oleh pemimpin seminari dan teman-temannya yang beranggapan bahwa “Rutten mempunyai karisma khusus di bidang pendidikan anak-anak miskin”.

Akhirnya Rutten ditahbisakan pada 25 Maret 1837 dan kembali ke kota kelahirannya. Pemimpin Seminari memberkatinya seraya berkata, “Pulanglah dan ajarilah anak-anak miskin”.

Proyek Rutten

Rutten memulai karyanya di sebuah serambi di Gereja St. Servatius. Meski kurang mendapat tanggapan positif dari pastor kepala paroki, ia tetap teguh. Ia memulai karyanya dengan mengajar 3 anak, kemudian berkembang menjadi 30, lalu 50 anak. Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan ini menggunakan jarta warisan dari orang tua Rutten. Karena karya ini semakin berkembang, Rutten merasa perlu adanya tenaga religius untuk meneruskan karya pelayanan bagi orang miskin ini.

Rutten mencoba berbicara dengan pastor kepala paroki untuk meminta bantuan dari suster CB (Carolus Borromeus). Namun permintaanya ini ditolak. Hal ini tidak berbeda dengan permintaannya kepada Pastor Zwijsen pendiri kongregasi suster SCMM di Tilburg. Pastor Zwijsen memang menolak permintaan Rutten, namun ia berjanji untuk membantunya mendirikan kongregasi bruder dengan mencarikan calon.

Calon pertama, Frans Donkers dikirim ke Kongregasi Caritas untuk mendapat pendidikan menjadi bruder. Usaha ini tidak berjalan baik, Frans Donkers meninggal beberapa bulan kemudian. Calon kedua, yaitu Hoecken dan Weert  melanjutkan. Dari kedua calon itu, hanya Hoecken yang bertahan. Akhirnya cita-cita Rutten menjadi cita-cita Br. Bernardus Hoecken dan diteruskan dari zaman ke zaman.

Refleksi

Keberpihakan Rutten kepada orang miskin berasal dari perjumpaanya dengan realitas kemiskinan dan penderitaan di sekitanya. Kemiskinan bukan terbatas pada materi saja tapi bisa miskin perhatian, kasih sayang, dll. Berhadapan dengan itu, Tuhan tidak diam. Rutten dijadikan-Nya perantara untuk menyelamatkan jiwa mereka. Tuhan menangkap dan memanggil Rutten untuk bertobat dan menjadi imam.

Rutten punya perhatian dan karisma untuk orang miskin. Baginya pelayanan kepada Allah nyata dalam karya-karya belaskasih melalui pendidikan dan berbagai karya cinta kasih lainnya. Mgr Rutten tidak sendiri, ia bersama dengan Br. Bernardus Hoecken dan para bruder, dari zaman ke zaman terus memberi perhatian kepada orang miskin. Tidak hanya para bruder FIC, namun kita semua diundang untuk bersama menjaga warisan spiritualitas Mgr. Rutten.

Kasih Allah menyentuh hati Rutten, menggerakkannya telibat dalam karya Gereja seperti yang diteladankan oleh Yesus.

 

Referensi:

Kappe, Kees, Bagaikan Biji Sesawi, dokumen kongregasi: 1990

 

Penulis Br. S. Agus Faisal, FIC