“Kalau Bruder menunggu sampai ada tanda dari surga, maka sudah ada. Tanpa Bruder, kami tidak dapat melanjutkan misi di Jawa,” demikian pernyataan Pastor Hoeberechts, Superior Misi di Hindia Belanda, dalam suratnya kepada Br. Bertholdus.
Isi surat tersebut sungguh menggerakkan hati Br. Bertholdus beserta anggota Dewan Umum Kongregasi Maastricht, sehingga “Setelah berdoa dengan hati bernyala, setelah meminta perantaraan Pelindung kita yang berkuasa, setelah memohon penerangan Roh Kudus, dan sesudah mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh manfaat-mudaratnya, Dewan Umum berpendapat bahwa Allah yang Baik memanggil kongregasi kita untuk ikut serta secara aktif dalam karya Misi.”
Melebarkan Sayap Ambil Bagian dalam Karya Misi di Jawa
Dengan pernyataan tersebut, Br. Bertholdus, Pemimpin Kongregasi, mengumumkan pada tanggal 24 Desember 1919 bahwa telah diputuskan untuk mendirikan rumah karya di daerah misi. Bahwa Jawalah yang dipilih, hal itu dijelaskan karena “Serikat Jesuslah yang mula-mula sekali mengajukan permohonan semacam itu kepada kami, yaitu dalam tahun 1883 dan terdorong oleh rasa syukur karena banyaknya jasa yang tak ternilai yang disumbangkan oleh para Jesuit kepada biara induk dan banyak biara bawahan.”
Jarang sekali ada surat edaran dari pusat yang mengungkapkan kegembiraan yang begitu besar. Tanggal 20 Januari Dewan Umum memberitakan detil-detil lebih banyak mengenai karya baru itu. Yang baik maupun yang buruk, yang pro maupun yang kontra semua digambarkan.
Akhirnya dibuka kesempatan bagi para bruder untuk mendaftarkan diri sebagai misionaris sebelum tanggal 1 Maret 1920. Ada 113 dari 350 bruder yang mendaftarkan diri. Kabar bahwa lima orang bruder yaitu Bruder August, Lebuinus, Eufrasius, Constantius, dan Ivo telah dipilih untuk berangkat ke Jawa dalam bulan Agustus telah memeriahkan pesta Paskah 1920. Kongregasi FIC menjadi serikat biarawan pertama yang secara jelas dan khusus datang untuk berkarya di tengah-tengah orang Jawa.
Misi di antara orang Jawa, yang diputuskan Br. Bertholdus beserta dewannya, pada waktu itu masih sangat muda, belum sampai 30 tahun. Memang sejak tahun 1817 sudah ada pastor yang berkarya di pulau Jawa. Pada awalnya adalah pastor Praja dan mulai 1859 para Jesuit. Karena jumlah mereka hanya sedikit sekali, karya mereka pun terpaksa hanya untuk orang-orang Eropa, terutama orang Belanda dan Indo atau orang Eurasia, yaitu berdarah campuran. Sekitar tahun 1900 ada 40 Pastor Jesuit yang harus memelihara seluruh wilayah Hindia Belanda. Jelaslah bahwa tenaga untuk pulau Jawa sangatlah tidak mencukupi.
Misi di antara orang Jawa pun dimulai sekali lagi pada tahun 1899 dengan Pastor van Lith di Muntilan dan Pastor Hoevenaars di Mendut. Sampai suatu saat dari daerah Kalibawang datang sekelompok orang desa, orang sederhana, yang ingin menerima pelajaran agama. Pada tahun 1904 Pastor van Lith mempermandikan 168 orang.
Pada tahun 1915 Pastor van Driessche mulai berkarya di Yogyakarta, namun tetap tinggal di Muntilan. Pada waktu itu, di Yogya, ada kurang lebih 100 orang Jawa yang beragama Katolik. Awal tahun 1919 Pastor van Driessche pindah ke Yogya dan berkarya di kota ini dengan hasil yang menggembirakan sampai tahun 1934. Pada akhir tahun 1918 ada 300 orang Jawa Katolik di Yogya. Pastor van Driessche, yang sebelumnya berkarya di Muntilan bersama Pastor van Lith, juga berusaha mendirikan sekolah Katolik.
Pada tahun 1917 beliau berhasil mendirikan sekolah yang masih sangat sederhana: anak-anak duduk di tikar dengan semacam meja kecil dibuat dari bambu. Ada langkah besar pada tahun 1918 dengan dibukanya sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Hindia Belanda). Sebanyak 400 anak mendaftarkan pada sekolah tersebut, karena HIS membuka kesempatan belajar bahasa Belanda. Pada waktu itu bahasa Belanda dipandang sebagai pintu menuju hari depan yang bagus, pekerjaan yang tertinggi yang dapat diduduki orang Jawa pada masa kolonial.
Karya-karya sekolah di Yogya dan Jawa Tengah yang mulai didirikan dan dikembangkan serta diyakini sebagai karya misi yang tepat, dirasakan membutuhkan kehadiran biarawan. Di HIS harus ada sejumlah tenaga Eropa, baik pada HIS yang sudah ada, maupun pada HIS yang masih akan didirikan. Juga pada sekolah lanjutan MULO yang sudah dipikirkan. Oleh karena itu, permintaan Pastor Hoeberechts, Superior Misi, agar Kongregasi FIC mengambil peran dalam karya misi di Jawa segera ditanggapi oleh Br. Bertholdus beserta Dewannya dengan keputusannya untuk mengadopsi sekolah di Yogyakarta dan di Jawa Tengah secara antusias dan gembira.
Langkah Awal untuk Orang Jawa
Keberangkatan para Bruder FIC sebagai misionaris pertama di Jawa diwarnai dengan semangat dan kegembiraan. Suasana demikian ini di satu sisi merupakan dukungan dari para saudara sekongregasi, di sisi lain semangat dan kegembiraan bagi para bruder yang mau berangkat merupakan wujud optimisme untuk berkarya di daerah misi. Jiwa misioner merupakan semangat yang dihidupi oleh para anggota Kongregasi FIC.
Perayaan perpisahan untuk menghormati mereka yang akan berangkat untuk berkarya selama sepuluh tahun di Jawa diselenggarakan di banyak bruderan pada bulan Juni dan Juli 1920. Pada hari Minggu 8 Agustus 1920, sesudah Misa Agung di kapel induk biara De Beyart Maastricht, Br. August dilantik sebagai overste rumah Santo Fransiskus Xaverius di Yogyakarta. Kemudian pada tanggal 14 Agustus para misionaris pertama tersebut naik kapal Wilis di Rotterdam, menuju Batavia, ibukota Hindia-Belanda. Tanggal 19 September mereka sampai di Tanjung Priok.
Pastor van Lith hadir di pelabuhan untuk menyambut dan memberikan ucapan “selamat datang”. Itu sungguh merupakan peristiwa penuh makna, memperlihatkan betapa kedatangan mereka amat dinantikan. Mereka diajak menuju pastoran gereja Katedral di Batavia untuk menginap. Kelima Bruder FIC merasa tak ingin berlama-lama sebagai tamu di tempat itu, maka memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah.
Pada hari Senin pagi tanggal 20 September, mereka naik kereta api menuju Yogyakarta, ibu kota kesultanan. Sore hari mereka sampai di stasiun Yogyakarta dan dijemput oleh Superior Misi, Pastor Hoeberechts. Seorang Pastor Jesuit bersama lima orang Bruder FIC yang berjubah hitam (jubah putih baru akan dipakai dalam tahun-tahun 30-an) segera menuju pastoran Kampemenstraat.
Di situ mereka bertemu antara lain dengan Pastor van Driessche. Mereka disambut dengan sangat sederhana, tanpa pidato, tanpa nyanyian. Setelah sebentar bercakap-cakap dengan para pastor, mereka diantar ke rumah yang sudah dibeli dan disediakan bagi mereka. Letaknya di belakang rumah perwira tentara Belanda, kira-kira 20 meter dari pastoran dengan melewati lorong sempit. Rumah tersebut adalah bekas kantor pabrik besi yang sudah usang. Meski kurang sesuai harapan, mereka berlima mendiaminya selama beberapa tahun.
Letak rumah yang sangat dekat keraton dan benteng Vredeburg, yang dinamakan Kidul Loji, artinya: sebelah selatan benteng, sangat membantu para bruder mengenal budaya keraton khususnya dan budaya Jawa pada umumnya.
Kelima bruder itu, sebagai orang yang baru datang berusaha menyesuaikan diri, tentu dengan sikap heran dan sekaligus canggung. Mereka menangkap bahwa dalam masyarakat kolonial terasa adanya jenjang tingkatan status sosial yang berdampak pada terjadinya diskriminasi. Misalnya antara golongan penguasa dan masyarakat biasa, orang Belanda dan pribumi, pegawai kolonial dengan pekerja, dan lain- lain.
Para misionaris tidak dapat mengesampingkan fakta bahwa mereka adalah orang Eropa yang memiliki hubungan khusus dengan pemerintah kolonial. Meskipun begitu, untunglah bahwa masyarakat Jawa pada umumnya tidak memandang mereka sebagai bagian dari pemerintah kolonial, tidak melihat gambaran penguasa Belanda di dalam diri mereka. Apalagi para misionaris berusaha menghindari bahkan menjauhi pergaulan dengan para penguasa kolonial, karena dipandang dapat merugikan karya misi.
Sikap demikian dipilih dan diusahakan karena para Bruder FIC selalu menyadari tugas perutusannya, yakni berkarya dan melayani di tengah-tengah masyarakat. Sikap itu selaras dengan tugas mereka di sekolah sehingga mampu mengambil jarak dari golongan Eropa. Demikian inilah bentuk komitmen/ketaatan terhadap apa yang diamanatkan Dewan Umum di Maastricht saat menerima penugasan di Jawa. Kehadiran mereka adalah untuk mengemban karya misi melulu di antara orang Jawa.
Memang disadari tidaklah mudah hidup dalam kondisi yang demikian itu. Kelima bruder harus selalu mencari cara bagaimana bersikap dan bertindak baik yang sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapi. Dukungan baik dari para pastor, Suster Fransiskanes yang rumahnya tidak jauh, dan para guru sangat menolong mereka.
Tantangan berat lain yang dihadapi para bruder adalah persoalan bahasa. Itulah sebabnya Br. August, Br. Eufrasius, dan Br. Constantius berusaha keras belajar bahasa Jawa. Pada waktu itu,