Demi keberlanjutan karya yang telah dimulai di Maastricht, Rutten menyusun suatu rencana yang ia sebut sebagai “Proyek”. Memang, rencana itu telah selesai dibuat. Tetapi Rutten tidak mau mulai melaksanakannya tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kepada vikep di Den Bosch. Segera setelah pembicaraan dengan Pastor Zwijsen, pergilah ia ke seminari tempat dulu ia mempersiapkan diri untuk menjadi imam. Di seminari itu Rutten mengadakan retret. Di situ rencananya didalami lebih lanjut.
Sesudah retret, Pastor Rutten menghadap vikep di Den Bosch untuk mengajukan rencananya. Vikep itu menyetujuinya, tetapi karena ia ingin bersikap hati-hati, ia tidak memberikan izin tertulis.
Beberapa hari kemudian vikep menyarankan kepada Rutten untuk mulai saja melaksanakan rencana itu. Segera Pastor Rutten berangkat ke kota Hasselt dan
Sint Truiden di Belgia. Dalam waktu sehari saja ia menempuh jarak itu. Untuk itu Rutten berjalan selama sepuluh jam. Ia hendak bertemu dengan pemimpin biara kongregasi Bruder Karitas di kedua kota itu.
Sampai di tempat tujuannya, Rutten mohon dengan amat sangat supaya bruder pemimpin itu sudi menyediakan beberapa bruder untuk membantunya dalam mendirikan
kongregasi bruder di Maastricht. Atau jika hal itu tidak mungkin, supaya bruder pemimpin setidak-tidaknya rela menerima dua calon yang akan dikirim Rutten untuk dididik menjadi novis; kemudian mereka akan ditarik kembali ke Maastricht.
Kedua permintaan Rutten tidak dikabulkan oleh bruder pemimpin biara para Bruder Charitas tersebut. Hal ini terjadi karena memang urusan administrasi perijinan di biara waktu itu sangat ketat. Walaupun Pastor Rutten amat kecewa, namun ia tidak putus harapan. Dengan berjalan ia menuju ke kota Mechelen untuk mengajukan permohonan yang sama kepada pemimpin umum Kongregasi Charitas. Tetapi di situ pun ia tidak berhasil.
Kini tinggallah satu harapan saja, yaitu minta perantaraan seorang pastor kepala di kota Gent. Pastor itu diangkat oleh uskup sebagai Direktur Jenderal atas semua lembaga amal. Pastor Rutten diterima dengan ramah. Dengan senang hati Direktur Jenderal itu mengizinkannya mengirim dua calon ke salah satu bruderan Karitas untuk menjalankan masa novisiatnya di situ. Alangkah gembiranya hati Pastor Rutten atas hasil jerih payahnya. Sayanglah, kegembiraannya tidak berlangsung lama juga.
Pada tanggal 24 Oktober 1839, Frans Donkers, seorang pemuda dari kota Den Bosch, disuruhnya pergi ke Sint Truiden, ke rumah pembinaan calon bruder Charitas, untuk menjadi postulan di situ. Ketika Frans Donkers sampai di pintu biara, ia tidak diterima. Ternyata Pastor dari kota Gent yang merupakan Direktur Jenderal karya amal itu lupa memberitahukan kepada pemimpin biara di Sint Truiden, bahwa ia telah menyetujui penerimaan calon-calon dari Pastor Rutten itu.
Ketika Rutten mendengar tentang nasib buruk yang dialami Frans Donkers, maka seketika itu juga ia berangkat ke Sint Truiden dengan berjalan kaki. "Saya berangkat pukul 9.00 malam, dan tiba di biara itu sekitar pukul 12.00 atau pukul 1.00 malam", demikian Pastor Rutten menulis dalam autobiografinya.
Pagi berikutnya Pastor Rutten bersama Frans Donkers menuju ke Gent. Pastor di Gent itu memberikan sepucuk surat yang dialamatkan kepada pemimpin biara di Sint Truiden agar menerima calon bruder dari Pastor Rutten. Maka akhirnya Frans boleh masuk ke biara di Sint Truiden itu.
Sayang, agaknya Frans Donkers mengalami kesulitan di biara Sint Truiden. Ketika Pastor Rutten mendapat kabar tentang keadaan Frans Donkers, ia langsung berangkat mengunjunginya. Ketika sampai di Sint Truiden, kondisi kesehatan Frans Donkers waktu itu sedikit lebih baik. Dengan lega hati, Rutten pulang ke Maastricht.
Namun beberapa hari kemudian Rutten diberitahu bahwa Frans Donkers telah meninggal dunia. Umur Frans Donkers waktu itu 20 tahun. Belum sampai dua bulan lamanya Frans Donkers tinggal di bruderan Sint Truiden itu.
Mendengar berita tentang Frans Donkers yang telah meninggal dunia, maka Rutten kembali pergi ke Sint Truiden. Rutten pergi untuk mengurus biaya pemakaman. Tentang kunjungannya ini dalam autobiografinya Rutten menulis: "Saya bermalam di biara itu dan tidur di tempat tidur Frans. Di tempat itu saya masih dapat melihat noda darah yang besar dari almarhum. Saya amat terharu karenanya."
Sementara itu Pastor Zwijsen di Tilburg, yang telah berjanji kepada Rutten untuk mendatangkan beberapa calon untuk kongregasi yang hendak didirikan oleh Rutten, menaruh perhatian kepada anak bungsu keluarga Hoecken.
Ketika berbicara dengan orang tua dan Jacobus tentang rencana Pastor Rutten itu, ia dengan hati-hati meraba-raba apakah mungkin Jacobus merasa tertarik untuk membantu Rutten dalam pelaksanaan rencana itu.
Bagi Jacobus, pembicaraan itu merupakan suatu tanda dari surga. Sebab itu, tanpa ragu-ragu ia memutuskan akan segera melaksanakan apa yang ditafsirkan sebagai pewahyuan kehendak Tuhan.
Dengan diberkati orang tuanya Jacobus berangkat ke Maastricht bersama seorang pemuda lain, yang juga memberanikan diri menanggapi tantangan itu. Tidak banyak bekal yang mereka bawa. Pengetahuan sekolah pun tidak mereka bawa, sebab Jacobus hanya tamat sekolah dasar saja. Tetapi ia memiliki kesehatan yang baik dan yang amat lebih penting, ia seseorang yang imannya telah teruji. Kecuali itu ia mempunyai akal budi yang sehat, semangat bertekun, serta kebijaksanaan besar dalam mengarahkan langkah hidupnya. Pastor Rutten pasti akan merasa puas sekali mendapat seorang calon serupa itu sebagai pembantunya.
Tentu saja Pastor Rutten merasa senang sekali ketika dua pemuda itu sampai di kota Maastricht. Sayang, kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Esok harinya dengan berjalan bersama dengan kedua calon itu, ia berangkat ke kota Sint Truiden dan pada sore hari mereka sampai di biara tempat tujuan. Tetapi sekali lagi pemimpin biara menolak menerima dua pemuda itu. Rutten tidak sanggup menyerah. Ia tidak mau pulang sia-sia saja ke Maastricht. Syukurlah, vikep kota Sint Truiden berhasil bertindak sebagai perantara. Akhirnya pemimpin biara di Sint Truiden itu bersedia menerima kedua calon itu.
Jacobus dan seorang temannya memulai postulatnya di biara Bruder Karitas di Sint Truiden. Tetapi, bimbingan yang mereka terima sangat minim. Hampir seluruh waktu mereka dibiarkan saja sehingga mereka merasa sangat cemas.
Pada tanggal 10 Agustus 1840 Jacobus dan seorang temannya menerima jubah. Dengan demikian mulailah masa novisiatnya secara resmi bagi Jacobus dan temannya. Masa novisiat itu pendek sekali, sebab pada 17 November Pastor Rutten memanggil mereka ke MaastrichtAtas pengalaman ini Jacobus yang kemudian kita kenal sebagai Bruder Bernardus menulis, “…mereka dipasang pada gerobak untuk menghelanya.”
Bukan tanpa alasan Pastor Rutten bertindak amat tergesa-gesa. Pada saat itu, para tokoh Gereja masih mendukung rencana Rutten untuk mendirikan kongregasi. Tetapi ada kemungkinan bahwa kota Maastricht akan mendapat seorang vikaris. Belum bisa dipastikan bahwa vikaris yang baru itu juga akan menyetujui rencana Rutten.
Ketika belum begitu lama Br. Bernardus dan temannya tinggal di Maastricht, ternyata teman Br. Bernardus itu tidak kerasan. Ia pulang ke Tilburg.
Sementara itu, Pastor Rutten telah menerima beberapa pemuda lain yang berhasrat menjadi bruder. Mereka disuruh membantu di sekolah taman kanak-kanak. Maka Bernardus, yang baru saja menjadi novis, diangkat menjadi pemimpin novis dan pemimpin komunitas kecil itu. Padahal ketika Bernardus tinggal di Sint Truiden yang hanya beberapa bulan lamanya dan dalam waktu yang sesingkat itu, ia belum diberi kesempatan untuk belajar banyak tentang hal hidup regigius.
Bagi komunitas yang pertama tempat tinggal Bernardus dan para calon yang lain itu, Pastor Rutten menyediakan sebuah ‘serambi kebun’ yang sudah reyot, yang menempel pada bagian belakang rumah ‘In De Rode Leeuw’ (Di Singa Merah). Rumah itu dibeli oleh Rutten dari ayahnya pada tahun 1834.
Betapa sederhananya semua itu. Dengan rasa humor Bernardus menceritakannya dalam buku harian:
“Sebuah kamar di bagian belakang rumah berfungsi sebagai rumah kami. Itulah tempat kelahiran kongregasi. Kamar itu kami bagi menjadi dua kamar kecil, yang kami pakai sebagai dapur, kamar makan, kamar studi, dan sebagainya. Kamar makan itu untuk sementara dipakai juga sebagai kapel dan kamar rekreasi.
Di loteng, di bawah atap yang miring rendah, itu tempat tidur kami, dipisah-pisahkan dengan gorden dan amat sederhana, sehingga tak terbayangkan. Kekurangan selimut mengakibatkan bahwa pada malam yang dingin para penghuni menderita kedinginan. Sebuah weker usang mulai berbunyi semaunya sendiri, entah pukul 8.00 entah lebih siang lagi. Dan bila cuaca itu sangat dingin, ia mogok sama sekali.
Ada juga sebuah tempat perapian kecil, yang kadang-kadang berfungsi baik, kadang-kadang rewel. Ditambah lagi sejumIah periuk dan panci, serta lima atau enam kursi. Itulah perabot utama di rumah kami.
Sebuah gudang kecil dipakai untuk menyimpan persediaan bahan makanan serta bahan lain. Sebuah mangkuk berisi lemak dan sebuah mangkuk lain lagi kami pakai sebagai tempat mentega. Tiada barang lain lagi yang berharga.
Yang paling menyenangkan yaitu waktu makan. Pada waktu tertentu bel berbunyi, tetapi bila api kompor tidak dapat menyala, kami diberi kesempatan baik untuk berlatih kesabaran. Setelah makan siang atau makan sore, kami ubah kamar itu menjadi kamar rekreasi, lalu kami ubah lagi menjadi kamar doa. Segala sesuatu memang amat sederhana dan kurang memadai. Namun kami merasa puas, dan cukuplah itu.”
Di rumah yang sama disediakan pula ruang bagi taman kanak-kanak, tempat Bernardus dibantu dua orang postulan menyibukkan anak-anak itu. Kemudian masih ada seorang calon lagi yang masuk. Ia diberi tugas memasak dan mengurus rumah tangga. Tetapi dalam waktu singkat saja ia mengundurkan diri dan pulang ke keluarganya.
Pada tanggal 21 November 1840, ruang yang digunakan sebagai
kapel diberkati oleh pastor kepala paroki. Lalu pastor Rutten mempersembahkan ekaristi untuk pertama kali bersama dengan para pengikutnya. Sejak itu, tanggal 21 November 1840 dianggap sebagai hari pendirian Kongregasi FIC.
Beberapa minggu kemudian, peristiwa itu diberitahukan pastor Rutten kepada sahabatnya, Pastor wilmer, seketaris vikep di Den Bosch:
"Kami telah memanggil Bruder Hoecken dari Sint Truiden supaya pulang ke Maastricht untuk menjadi pemimpin tiga calon di sini dan sekaligus bertugas sebagai pemimpin komunitas. Sekarang mereka sibuk dengan tugasnya di taman kanak-kanak dan memberikan pelajaran agama. Mereka mempersiapkan diri pula bagi tugas-tugas yang akan mereka laksanakan di waktu kemudian. Selanjutnya kami tidak akan menetapkan sesuatu lebih dahulu, sebab kami berniat akan melakukan segala sesuatu yang dibebankan kepada kami oleh surga, sesuai dengan nasihat yang kami terima dari penasihat rohani kami."
Usaha pertama ke arah pelaksanaan cita-cita Pastor Rutten sungguh sulit dan berat. Namun, berkat iman kepercayaan yang kukuh cinta kasih pada anak-anak miskin, semangat berkurban serta ketekunannya pada saat ia mengalami kekecewaan dan rintangan, Pastor Rutten telah berhasil mencapai tujuannya yang pertama. Rutten memiliki harapan yang besar bahwa karya-karya amalnya kini telah diselamatkan.
Tanggal 8 Desember 1840, yaitu hari pesta Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda, yang sekaligus juga menjadi hari ulang tahun Pastor Rutten, dengan penuh khidmat dirayakan di ‘kapel’ dengan misa yang meriah yang dipersembhakan oleh Pastor Rutten sendiri. Dengan sedikit humor Bruder Bernardus mencatat:
"Pada tanggal 8 Desember tahun 1840, pesta Santa Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda, Paduka Y.M. Pendiri kita mempersembahkan misa yang meriah di ruang yang disebut ‘kapel’ para bruder, dengan iringan nyanyian. Dua penyanyi yang sebenarnya tidak dapat membedakan antata ‘do’ dan ‘re’ menjadi ‘koor’ pada upacara itu. Maka Anda dapat membayangkan betapa merdunya lagu yang mereka nyanyikan. Sebuah lemari kayu disulap menjadi altar, yang dihiasi beberapa kaki lilin dengan ‘lilin’ yang dibuat dari kayu. Sebuah kepala boneka dijadikan patung Bunda Maria dan sepotong kayu yang ditempeli kertas emas menjadi tongkat kebesarannya. Kepalanya berhiaskan mahkota yang dibuat dari seng."
Walaupun Pastor Rutten dengan iman yang kuat percaya bahwa Tuhan akan tetap memelihara benih yang lemah yaitu kongregasi yang baru saja didirikannya, namun jelas juga bahwa perkembangannya tidak akan dianugerahkan-Nya tanpa usaha yang sungguh-sungguh dari pihak manusia.
Bagi para anggota pertawa Kongregasi FIC, tugas yang mereka hadapi amat sulit dan berat. Seringkali mereka mengalami kekurangan dalam hal-hal yang paling pokok. Mereka memberikan pelajaran di beberapa sekolah, dengan sebelum dan sesudahnya masih harus mengawasi ratusan anak, waktu doa, renungan, bacaan rohani, dan latihan bersama yang lain. Semua itu hampir tidak memungkinkan mereka masih mencari waktu untuk beristirahat sedikit saja.
Di samping itu, mereka masih harus membantu dalam pembongkaran dan pembangunan rumah, yang perlu diperluas karena kekurangan tempat bagi para bruder yang bertambah banyak jumlahnya. Untuk menghemat biaya, para bruder bersama Pastor Rutten sedapat mungkin mengerjakannya sendiri. Bruder Bernardus mencatat:
"Jika benar, bahwa semua usaha yang baik mengalami hambatan, perlawanan, kesulitan, dan penderitaan, maka pantaslah Pastor Rutten dan para bruder merasa bahagia, sebab dari segala pihak mereka mengalaminya dalam berbagai rupa.
Syukurlah semua itu tidak terduga sebelumnya, sebab seandainya demikian, niscaya apa yang mereka harapkan tidak akan terlaksana. Pada suatu saat, ketika mereka hampir putus asa, keluarlah keluhan dari bibirnya, ‘Seandainya semua itu telah kami ketahui sebelumnya, mungkin usaha ini tak pernah akan mulai dikerjakan.’…Pantaslah ditegaskan di sini dan di mana-mana: tanpa perlindungan khusus Perawan Maria yang Terkandung Tak Bernoda itu, Kongregasi kita sudah mati pada saat kelahirannya...."
Walaupun Bruder Bernardus pada tahun 1840 sudah diangkat Pastor Rutten sebagai pemimpin kelompok kecil novis dan postulan, namun baru pada tahun 1841 pengangkatan itu bersifat resmi. Dalam pemilihan rahasia Bernardus oleh anggota-anggota komunitas dipilih sebagai pemimpinnya. Pemilihan itu diketuai oleh Pastor Rutten sendiri. Ada lima orang yang berhak memilih: tiga novis dan dua postulan. Belum ada bruder yang sudah
profesi. Peristiwa itu dicatat oleh Bruder Bernardus sebagai berikut:
“Pada tanggal 2 Februari 1841, di kota Maastricht, bruder yang pertama (yaitu Bruder Josephus, yang pada hari itu juga memasuki masa novisiatnya), dalam upacara yang meriah diberi jubah religius oleh Paduka Pendiri di kapel bruderan. Pada hari yang sama, Bruder Bernardus dipilih dan diangkat sebagai Overste. Mula-mula belum ada gambaran mengenai tujuan tertentu dan tetap. Masa depan diserahkan sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi: mengasuh dan mendidik anak-anak, mengasuh anak yatim piatu, membantu di rumah sakit, dan seterusnya. Pokoknya: berbuat baik.
Beberapa warga kota menghendaki supaya para bruder merawat orang sakit di rumahnya. Karya itu mereka anggap lebih perlu daripada karya lain. Maka kami berdoa kepada Tuhan, lalu kami memutuskan akan melaksanakan karya amal jenis lain pula, bila jumlah tenaga memungkinkannya. Beberapa orang sakit akan diasuh di rumah mereka, terutama mereka yang miskin. Namun, karya itu tidak akan menjadi suatu kebiasaan tetap, melainkan hanya untuk mendiamkan mulut para warga kota. Dengan cara demikian, kami hendak memperluas kerajaan Yesus Kristus. Waktu akan menunjukkan kepada kami jalan mana sebaiknya kami tempuh selanjutnya."
Rupanya masih timbul berbagai kesulitan dan kekecewaan. Bernardus mengungkapkannya sebagai berikut :
"Semua usaha kami maju hanya sedikit demi sedikit saja. Walaupun para bruder sungguh bermaksud dan berusaha sebaik-baiknya, sering juga mereka harus berjuang mati-matian agar bisa bertahan. Sebab, ada banyak dan bermacam-macam kesulitan. Karena masih kurang terlatih dalam perjuangan itu, maka kadang-kadang ada bruder yang kehilangan semangat. Dan setelah mengalami tantangan yang berat selama beberapa hari, kebanyakan dari mereka mengundurkan diri. Makanan yang tidak baik, pekerjaan yang terlalu banyak dan berat, masa depan yang suram, tak ada suatu apa pun yang
menarik secara manusiawi."
Begitulah kondisi awal berdirinya Kongregasi FIC. Kongregasi FIC berdiri dalam ketidaksempurnaan di banyak hal. Meskipun demikian sejarah menunjukkan bahwa Kongregasi FIC terus hidup, bertumbuh, dan berkembang. Semua ini menjadi tanda jelas bahwa ada dan hidup berkembangnya Kongregasi FIC melulu hanya karena kuasa Allah. Itulah sebabnya salah satu keutamaan rohani yang terus diwariskan dan diperjuangkan oleh para Bruder FIC adalah hidup dalam penyelenggaraan Ilahi. Bersama itu juga, seperti dihayati oleh Mgr. Rutten dan Br. Bernardus Hoecken, para bruder FIC juga menghayati hidupnya dalam perlindungan dan pertolongan suci Bunda Maria.