Membangun Sikap Adaptif

Membangun Sikap Adaptif

Apa itu Adaptif?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, kata adaptif berarti: mudah menyesuaikan (diri) dengan keadaan. Sebagai manusia, secara tidak sadar bahwa kita sudah dilatih untuk beradaptasi. Walaupun kita kurang menyadarinya. Peristiwa saat kita dilahirkan ke dunia ini merupakan peristiwa yang luar biasa bagi seorang bayi. Ada perbedaan yang mencolok saat bayi berada di rahim seorang ibu dan sesudah lahir ke dunia. Ketika di rahim ibu, tentu suasananya tidak seterang, sepanas, sedingin atau seribut sesaat sesudah lahir. Pada saat inilah, sifat keadaptasian kita dilatih, di bentuk. Semula si anak terkejut dengan situasi yang ada suhunya terasa panas, ribut dan lain sebagainya. Namun lama-kelamaan menjadi biasa dan nyaman dengan keadaan yang ada.

Menit berganti ke jam dan dari jam berganti ke tahun. Waktu terus berlalu. Manusia terus tumbuh dan berkembang sesuai umur dalam jamannya. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan hidup inilah, manusia dihadapkan dengan berbagai macam percobaan dan persoalan. Hidup penuh misteri. Semua orang tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa datang. Walaupun demikian, kita tetap hidup dan diberi kemampuan untuk mengatasi permasalahan dan persoalan hidupnya.

Sang Penopang Hidup  

Sebagai orang yang peraya dan beriman kepada Tuhan, kita tahu bahwa ada suatu kekuatan besar dalam diri kita. Terkadang kita tidak mampu melihat secara kasat mata karena itu sungguh dari nalar manusiawi kita atau jauh di luar perkiraan kita. Ketika pikiran kita penat, kacau, dan hidup terasa berat, kita menjadi bingung. Di saat itulah, kita diajak untuk diam, tenang, dan pasrah. Memohon pertolongan Tuhan untuk mengatasi persoalan hidup yang ada pada kita. Membiarkan Tuhan hadir dan membantu mengatasi persoalan hidup kita. Di saat mengalami situasi seperti ini baiklah kita belajar dari para murid Yesus ketika perahu mereka diterpa badai dan ombak yang besar. Kiranya ini sesuai dengan sabda Yesus kepada para murdi-Nya: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" (Mat 14:27). Setelah itu, danau menjadi tenang dan angin pun reda. Inilah keajaiban. Kekuatan dari Sabda dari pribadi yang memiliki kuasa. Kita yakin bahwa hal tersebut juga bisa terjadi pada diri kita di dalam iman.

Jadi benar, bahwa dalam hidup ini, ada kekuatan besar di dalam diri kita. Dialah Sang Subyek Besar. Dialah Allah sendiri yang memimpin hidup. Allah yang menjaga dan menopang hidup manusia dan membantu hidup kita untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada pada kita. Baik juga kalau kita belajar pada Santo Paulus yang mengirimkan suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus. Paulus mengajar kepada jemaat di Korintus bahwa Allah adalah setia. Dia tidak membiarkan kita dicobai melebihi kekuatan kita. (1 Kor 10:13). Dari ayat ini, kita diingatkan bahwa melalui persoalan hidup dan cobaan yang kita alami, kita diminta untuk melihat, menggali lebih tajam dan mendalam akan makna atau nilai yang terkandung di dalamnya. Sebab dengan begitu, kita akan menjadi cakap dan sigap untuk mengatasi berbagai macam problem dan cobaan yang mungkin terjadi di masa depan.

Saya rasa itulah yang disebut latihan adaptif. Latihan ini bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan kadang tidak kita sadari. Semua berjalan secara natural. Semua peristiwa ini bisa terjadi dari sesama kita dalam komunitas, keluarga, dan sesama rekan kerja di mana pun kita berkarya.

Hidup dalam Perbedaan

Setiap pribadi memiliki jalan hidup masing-masing. Ada yang memilih jalan hidup berkeluarga, membujang, dan menjadi religius. Semua itu adalah pilihan. Setiap pilihan hidup ada konsekuensi yang menyertainya. Sebagai religius, kita hidup bersama rekan-rekan sekomunitas yang tidak kita pilih. Perlu diyakini bahwa Tuhanlah yang memilihkan orang-orang yang hidup bersama kita. Mengapa? Karena kita tidak bisa memilih siapa pun yang hidup bersama kita. Karena itu hidup dalam perbedaan dan keberagaman, baik itu ras, suku, bahasa, maupun bangsa adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan.   Perlu saling menghargai satu dengan yang lain.

Selama menjalani proses pendidikan di Postulat, Novisiat Kanonik, dan di Novisiat Lanjutan, saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menjadi misionaris. Yang ada dalam benak saya adalah melayani Tuhan, baik sebagai tenaga pastoral atau guru di sekolah. Harapan yang tidak neko-neko. Menjadi misionaris, merupakan bentuk konsekuesi dari pilihan hidup dari kongregasi internasional dan bentuk ketaatan saya pada pemimpin yang mengutus saya. Saya sadar bahwa seorang pemimpin memiliki otoritas untuk anggotanya. Sebagai bagian dari anggota kongregasi, saya memiliki pandangan bahwa seorang pemimpin yang terpilih untuk menjadi pemimpin provinsi adalah perpanjangan tangan Tuhan. Karena itu, saya tidak bisa menolak apapun yang dipercayakan kepada saya. Inilah bentuk nyata dari kaul ketaatan yang sudah saya ikrarkan.

Saya selalu sadar bahwa saya lemah, rapuh dan jauh dari sempurna. Namun, saya juga yakin bahwa Tuhan memberikan kelebihan untuk melengkapi kekurangan dan kelemahan sesama yang hidup bersama saya. Dari kesadaran ini, muncul kesadaran bahwa hidup perlu saling melengkapi. Walau demikian, kadang terjadi peperangan besar antara kekuatan terang dan gelap. Ada pergulatan hidup yang tidak mudah. Hal ini berimbas pada kondisi fisik saya, seperti badan terasa lemah, mudah mengeluh, dan nglokro.” Seolah hidup ini tidak ada artinya, beban hidup terasa berat. Pengalaman ini sungguh saya rasakah ketika menjalani tugas sebagai misionaris khususnya di Chile. Ada dua hal yang membuat diri terasa berat. Pertama saat memasuki musim dingin dan soal bahasa. Adaptasi dengan dua masalah tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk mengaktualisasikan diri secara optimal.

Tapi syukur kepada Tuhan, di saat mengalami situasi seperti itu, saya mencoba untuk mengkomunikasikan dengan sesama bruder saya. Dari komunikasi tersebut membawa kelegaan dan damai. Saya diteguhkan, didukung dan disemangati untuk tetap tabah, setia, dan mencari cara untuk bisa menerima musim dingin dengan hati yang lapang serta memfasihkan bahasa spanyol.

Akhir kata, baik kiranya menyadari diri bahwa kita hidup tidak sendiri. Ada banyak saudara yang siap untuk dijadikan teman berbagi baik dalam suka maupun duka. Tidak mudah memang untuk terbuka dan jujur terhadap sesama kita. Untuk itu, perlu memohon kekuatan dari Tuhan agar mampu mengungkapkan problem hidup yang kita hadapi.

Pengalaman berkomunikasi dengan jujur dan terbuka menjadikan beban hidup menjadi lebih ringan. Inilah cara saya untuk bisa beradaptasi di mana pun saya berkarya. Bagaimana dengan Anda? Pernahkah Anda mengalami beban hidup yang berat? Dan bagaimana Anda mencari solusinya? Mari kita yakinkan diri bahwa Allah tidak tidur. Dia akan menolong dan membantu mengatasi segala problem hidup yang ada dalam diri kita.

Penulis: Br. Yohanes Krismanto, FIC (Talca, Chile)