Kutiup Jerih Payahku

Kutiup Jerih Payahku

Kutatap sekolah itu. Dari depan kamarku. Di situ aku sehari-hari hadir, berkerasulan. Sehari-hari aku berada bersama bocah-bocah yang kerap menjalani hidup dalam sunyi.

Sore ini memang gerah. Barangkali hujan akan turun malam ini. Hujan pasti akan menyegarkan hari ini. Tapi aku tahu pasti, hujan tidak akan bisa meredakan gemuruh hati sejumlah anak-anak didikku.

Kalau boleh memilih, aku ingin berkerasulan di tempat yang lain. Tetapi Allah, lewat pemimpinku, seperti menanamku di tempat ini. Bersama anak-anak didikku yang sempat mengalami kehidupan yang sunyi. Anak-anak yang sempat memahami bahwa kehidupan ini normalnya memang tak ada suara.

Sejumlah anak-anak itu beruntung. Meski mengalami keterbatasan kemampuan, namun orang tua mereka legawa menerimanya. Lalu mencarikan tempat belajar yang berguna.

Tetapi, sejumlah anak yang lain tidak beruntung. Keterbatasan kemampuan mereka membuat orang tuanya berduka. Beberapa kecewa. Beberapa yang lain bahkan menolaknya.

Kalau boleh memilih, tentu anak-anak itu ingin lahir dengan kemampuan fisik yang sempurna. Kenyataan kemampuan diri yang tidak sempurna adalah realitas yang terberi. Bukan salah anak-anak itu. Mungkin juga bukan karena kesalahan orang tua mereka.

Tetapi realitas hidup seperti itu tidak selalu mudah diterima. Khususnya bagi orang tua mereka. Maka sejumlah anak-anak itu banyak yang mengawali tahun-tahun pertama bersama orang tua yang penuh pergulatan. Beberapa orang tua juga mungkin mengalami pergolakan jiwa yang hebat. Dan itu semua pasti memengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak-anak didikku.

Aku ingin mengatakan anak-anak didikku itu sebagai anak yang malang. Tapi aku selalu berjuang untuk menghalau sebutan semacam itu. Aku berjuang untuk menghayati realitas hidup anak-anak itu sebagai suatu kekhususan. Bahkan keistimewaan. Meski itu tidak mudah.

Sungguh tidak mudah. Karena aku sudah terlanjur mengetahui pahit getir kisah hidup sejumlah anak-anak didikku itu. Pengetahuanku tentang pahit getirnya kisah yang pernah dilalui anak didikku itu membuncahkan imajinasiku. Sesekali aku tak sanggup menanggungnya.

Andai saja mungkin, ingin aku menyudahi duka sejumlah anak didikku itu. Mungkin tidak seluruhnya. Tetapi itupun sepertinya tidak mungkin. Anak-anak itu punya dunianya sendiri bersama orang tua, atau siapalah yang menemaninya sehari-hari di rumah. Karena itu, ada ruang dan waktu yang aku tidak bisa menjangkaunya. Pada kesadaran itulah aku harus menabahkan hati, bahwa aku hanya bisa menolong anak-anakku dalam sebagian dukanya.

Ya, hanya sebagian duka anak-anak didikku itu. Pada kesadaran ini aku harus mencukupkan diri. Dan menabahkan hati. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Minimal untuk membuat diriku longgar. Aku tetap punya ruang batin dan rasa bagi anak-anak didikku itu.

Ruang longgar pada jiwa dan rasaku itu perlu. Sebab anak-anak yang malang itu, meski tidak dikatakan, selalu meronta jiwanya. Mereka butuh rongga untuk meletakkan gundahnya. Atau sekedar dipahami memar jiwanya.

Itulah yang kutangkap dan kuhayati ketika sejumlah anak-anak datang ke kantorku. Setiap anak punya perilakunya sendiri-sendiri di kantorku. Ada anak yang datang karena hanya ingin memegang-megang kepalaku. Anak lain datang untuk meminta entah snack atau minuman. Anak lain datang untuk menyapa dan mengajak omong sedikit.

Kubiarkan mereka semua datang ke kantorku. Apapun yang mereka lakukan. Itulah saat aku merongga bagi mereka. Semoga itu menjadi saat bagi anak-anak untuk mendapat setetes embun segar di kehausan jiwanya. Semoga.

Dan bagiku sendiri, saat-saat semacam itu menjadi kesempatan untuk menghirup dukanya. Ya, mau tak mau itu menjadi saat menghirup duka anak-anakku. Sebab aku sudah terlanjur mengetahui kisah hidup mereka. Entah di masa lalu. Entah hari-hari ini.

Sebagai Bruder FIC, aku bersyukur atas pengalaman ini. Dari pengalaman ini aku bisa merasakan pergulatan pendiri kami, Mgr. Ludovicus Rutten. Khususnya saat ia sebagai pastor muda yang sedang berjuang mencari calon Bruder, tidur di tempat tidur Frans Donkers yang baru saja meninggal.

Kisahnya demikian: Waktu itu Pastor Ludovicus Rutten sudah beberapa waktu memulai karya amal kasih di kota Maastricht. Ia kewalahan mengurus karya-karya amal kasih yang semakin banyak. Akhirnya, bersama pembimbing rohaninya, Pastor Rutten memutuskan untuk membentuk tarekat bruder untuk mengelola karya-karya yang telah dimulainya. Maka ia mulai mencari calon bruder. Calon pertama yang ia dapatkan adalah Frans Donkers.

Pada tanggal 24 Oktober 1839, Pastor Rutten meminta seorang pemuda dari kota Den Bosch, Frans Donkers namanya, pergi ke Sint Truiden untuk menjadi postulan di rumah pendidikan calon Bruder Charitas.

Ketika Frans Donkers sampai di pintu biara Bruder Charitas, ia tidak diterima. Ternyata Direktur Jenderal Gereja di Gent yang membawahi Bruderan Charitas itu lupa memberitahukan kepada pemimpin biara Bruderan Charitas, bahwa ia telah menyetujui penerimaan calon-calon Pastor Rutten itu.

Ketika Pastor Rutten mendengar tentang nasib buruk yang dialami Frans Donkers, maka seketika itu juga ia berangkat ke Sint Truiden. Pastor Rutten berjalan kaki.

Pastor Rutten menulis, “Saya berangkat pukul 21.00 malam. Saya tiba di biara itu sekitar pukul 24.00 atau pukul 01.00 dini hari.”

Pagi berikutnya bersama Frans Donkers ia menuju ke Gent, tempat Direktur Jenderal Gereja memberikan sepucuk surat yang dialamatkan kepada pemimpin biara Bruderan Charitas di Sint Truiden. Dengan demikian perkara itu beres. Frans Donkers boleh masuk ke biara itu.

Tidak lama kemudian Frans Donkers dihinggapi rasa kangen yang hebat. Hal itu tidak mengherankan.
Sebab, walaupun ia diterima di biara itu, dengan amat jelas dirasakannya, bahwa kedatangannya tidak disukai oleh para bruder. Rasanya ia diperlakukan sebagai seorang  asing yang tidak diharapkan.

Di samping itu ia merasa sakit. Beberapa hari kemudian ia terpaksa tinggal di tempat tidurnya. Ia muntah darah.

Ketika Pastor Rutten mendapat kabar tentang keadaan Frans Donkers, ia langsung berangkat mengunjunginya. Kebetulan Frans Donkers merasa agak lebih baik pada saat kunjungan itu. Dengan lega hati, Pastor Rutten pulang ke Maastricht.

Beberapa hari kemudian ia diberi tahu bahwa Frans Donkers telah meninggal dunia. Waktu itu Frans Donkers berumur 20 tahun. Belum sampai dua bulan lamanya ia tinggal di Bruderan Charitas itu.

Lagi Pastor Rutten menuju ke Sint Truiden. Sekarang Pastor Rutten datang untuk mengurus biaya pemakaman Frans Donkers dan hal lain.

Dalam autobiografinya Pastor Rutten menulis, “Saya bermalam di biara itu dan tidur di tempat tidur Frans Donkers. Di tempat itu saya masih dapat melihat noda darah yang besar dari almarhum Frans Donkers. Saya amat terharu karenanya.”

Pengalaman Pastor Rutten yang tidur bekas tempat tidur Frans Donkers itulah yang sering juga aku alami saat anak-anak didikku yang malang itu datang ke kantorku. Maka kubiarkan saja apa yang mereka lakukan. Itulah saat aku mengalaminya bersama pendiri kami, Mgr. Ludovicus Rutten.

 

 

 

Oleh Br. Anton Marsudiharjo, FIC                                                   

Penulis tinggal di Komunitas Kembangan Jakarta