
Perubahan zaman membawa pula perubahan pada pola hidup, serentak mengubah pola hidup komunitas. Pemikiran Leonardo Boff tentang komunio Trinitaris menjadi semakin relevan dalam kehidupan berkomunitas di saat gaya hidup berkomunitas kaum religius semakin tergiring kepada sikap individualisme, primordialisme serta materialisme.
Bagi kita, kehidupan bersama dalam komunitas menjadi bagian penting dalam panggilan hidup bakti. Kita tidak dipanggil untuk menghidupi panggilannya dan melaksanakan pelayanan misionernya secara individual tetapi sebagai komunitas. Hal ini didasarkan pada kodrat manusia yang pada intinya bersifat sosial atau dialogal karena manusia diciptakan menurut gambaran Allah Tritunggal yang di dalam diri-Nya terdapat dialog kasih. Relasi Trinitaris merupakan inti relasi komunitas religius.
Dalam perjalanan membentuk komunio ternyata tidak mudah seperti yang dibayangkan atau yang dicita-citakan. Padahal, setiap ada mutasi anggota komunitas, saat itu pula kita mau-tidak-mau membentuk suasana komunitas baru.
Agar kehidupan berkomunitas menjadi tempat yang sehat dalam berelasi, maka tiap anggota komunitas harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang makna sebenarnya dari hidup berkomunitas dan mengembangkan rasa identitas bersama yang akan menopang satu sama lain meskipun jauh dari anggota lain karena misi. Dasar dari pemahaman hidup komunio adalah bahwa dengan panggilan hidup bakti, setiap kaum religius dipersatukan oleh Roh Allah secara baru dengan diri-Nya dan dipersatukan satu sama lain di antara sesama anggota komunitas. Komunitas hidup bakti secara ideal merupakan cerminan dari komunio Ilahi dan karena itu komunitas senantiasa berupaya bertumbuh menuju kesatuan (komunio) dalam panggilan dan misi. Komunio Trinitaris sebagaimana digambarkan Leonardo Boff merupakan model hidup dalam komunitas.
Sebuah komunitas biasanya merupakan sebuah komunitas interkultural di mana anggota-anggotanya berasal dari latar belakang keluarga bahkan budaya yang berbeda. Komunitas religius merupakan kumpulan dari anggota-anggota yang berbeda seturut kehendak Allah. Dalam hal ini, setiap komunitas mensyaratkan suasana kepercayaan dan saling menghargai di antara anggota-anggotanya, juga merasa memiliki, men-share-kan iman panggilan serta perutusan. Sebuah spiritualitas didasarkan atas kepercayaan bahwa manusia menemukan kepenuhannya dalam relasinya dengan orang lain, berdasarkan imannya kepada Trinitas.
Oleh karena itu, setiap anggota komunitas kaum religius perlu memiliki sikap menghargai tanpa mendominasi, sungguh-sungguh berintegrasi bukan sekadar beradaptasi, bukan sekadar berbangga untuk hidup interkultural melainkan interkukulturalitas yang dihayati demi sebuah kesaksian dalam misi melalui suatu kolaborasi yang sungguh-sungguh ketika menjalankan misi Allah. Hal ini harus menjadi sebuah kesaksian bahwa komunitas menjadi tempat dan tanda harapan, kasih dan persatuan di dunia yang terpecah belah oleh prasangka, pemisahan dan dominasi.
Setiap orang memiliki keunikannya sendiri yang tidak mungkin dihapus demi sebuah keseragaman dalam kebersamaan. Hidup bersama hanya mungkin jika ada kemauan melintasi batas budaya sendiri untuk bertemu dan menghormati orang lain. Kita perlu belajar dari komunitas Yesus.
Karya juga mutlak perlu tetapi hidup religius bukan semata ditentukan oleh karya dan harus melupakan essensi dari komunio dalam komunitas. Untuk mempertahankan sebuah ikatan komunio ternyata bukan sebuah tugas yang mudah khususnya dalam dunia kita yang lebih banyak menekankan hak untuk diakui perbedaannya, yang mempertahankan budayanya sendiri, yang berhak mengakui imannya sendiri, dan hak berpolitik sesuai dengan preferensinya sendiri. Semua itu hanya terjadi jika komunitas menyadari pentingnya sukacita sejati yang mengalir dari semangat doa yang tak kunjung padam. Komunio Trinitariss menjadi sumber air hidup, pola hidup dan sumber sukacita.
Hidup komunitas adalah instrument dari Roh Kudus sebagai ikatan kasih antara Bapa dan Putra, sekaligus secara sempurna dalam komunio yang disebut Perikoresis Trinitaris. Sebagai instrument dari Roh Kudus, komunitas religius perlu memajukan relasi yang menghidupkan dalam komunitas. Relasi yang menghidupkan mengandaikan adanya keunikan yang tampak dalam perbedaan-perbedaan yang saling memperkaya. Perbedaan tidak dilihat sebagai kekurangan yang menjadi ajang konflik atau bahkan mempertajam konflik tetapi justru sebagai sebuah berkat untuk memperkuat komunio dalam sebuah persekutuan. Secara singkat komunitas bukan keseragaman tetapi keberagaman.
Thomas Aquinas memberi penekanan pada relasi yang harmonis antar manusia yaitu setiap orang menampilkan diri sebagai pribadi yang utuh, di mana di dalamnya tidak ada seorang pun yang mengklaim diri sebagai “yang lebih” dari sesamanya. Pembaruan hanya dimungkinkan selain pengosongan kepada Tuhan, juga oleh kekuatan inner being yang lahir dari doa yang tak henti-hentinya. Komunio ini merupakan kesatuan batin dalam iman dan kasih, kemudian dinyatakan secara lahiriah dalam tinggal bersama, makan bersama, pertemuan yang intensif, saling tukar pikiran dan pendapat, dan lain sebagainya yang merupakan kebahagiaan dan kegembiraan yang termesra.
Hidup berkomunio juga mengandaikan kemungkinan untuk bersikap terbuka bagi orang lain termasuk dengan keunikannya dan mengerti keunikan setiap pribadi agar tumbuh kepercayaan, harapan dan kasih. Hal itu berarti komunio dalam komunitas mengandung penghormatan setiap orang akan keunikan, menerima perbedaan, karena perbedaan berarti kekayaan yang terbagi-bagi, serta membangun hubungan personal dan mengenyahkan semua formalitas. Semakin baik setiap orang masuk dalam dinamika ini komunitas akan melihat kemungkinan-kemungkinan yang positif, daripada hanya sekedar memperlihatkan unsur negatif seperti kesombongan, kelobaan, keegoisan, dan semua unsur kejahatan dan dosa.
Komunio yang sebenarnya adalah melenyapkan setiap rasa takut dan kecurigaan di mana setiap orang menghirup udara persaudaraan, meskipun perselisihan tak dapat dihindari. Perselisihan akan selalu ada, tetapi komunio dalam makna sehati mengharuskan setiap orang bersikap rendah hati untuk rela meninggalkan kemauan sendiri dan mendengarkan pendapat orang lain, juga rela memberi maaf dan menerima maaf sehingga setiap pribadi dapat berkembang dalam kebenaran dan kasih. Melalui sikap ini setiap orang akan sampai kepada sikap menghormati sesama dalam iman dan kasih karena memiliki ikatan batin yang sedemikian kuat. Dengan demikian, kemungkinan untuk berselisih dan melakukan kekerasan semakin diperkecil dan krisis-krisis hidup mudah diredakan. Hasilnya hidup bersama akan menuai sebuah komunitas yang kreatif dan membebaskan.
Pada saat ada ketegangan, hidup bersama dapat dikuatkan melalui ikatan batin satu sama lain yang menunjukkan ikatan dengan Allah Tritunggal yang menjadi model komunio dalam hidup berkomunitas. Hal ini telah dinasihatkan oleh Paulus ketika menulis kepada jemaat Filipi, “Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini; hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” (Fil 2:1-2).
Komunitas religius diundang untuk semakin melihat kebutuhan mengubah komunitas menjadi tempat yang ramah dan terbuka di mana setiap anggota merasa kerasan. Komunitas dipanggil untuk membangun komunitas di mana setiap orang dihargai sebagaimana dia adanya, dengan sisi-sisi terang dan gelapnya; di mana bakat-bakatnya dihargai dan dipelihara, di mana setiap orang menemukan penyegaran dan pemulihan. Itulah kepenuhan komunio perikoresis. Hidup kasih Tritunggal mahakudus memancarkan hidup komunio/persekutuan, yang harus diteladan oleh para murid Yesus.