Sukacita: Tanda Identitas Seorang Bruder

Sukacita: Tanda Identitas Seorang Bruder

Pesan Paus Fransiskus: Bersukacitalah

Pada tahun 2015 Paus Fransiskus menetapkan sebagai Tahun Hidup Bakti. Satu pernyataan yang masih kita ingat dari Paus Fransiskus adalah, “Di mana ada kaum religius, di sana senantiasa ada sukacita.” Paus menekankan bahwa tanda lahiriah dalam hidup dan menjadi identitas seorang religius adalah sukacita. Kaum religius idealnya mengalami sukacita (kegembiraan) dalam seluruh hidupnya.

Melalui Tahun Hidup Bakti Gereja mengajak kita untuk semakin menyelami makna dan pentingnya pilihan hidup bakti sebagai salah satu bentuk panggilan khusus untuk hidup dan karya pelayanan Gereja. Lebih jauh pencanangan itu dimaksudkan untuk mengobarkan semangat dan cinta kita kepada Gereja agar semakin terbuka, lapang hati dan dengan keberanian iman menjawab panggilan Allah. Tahun Hidup Bakti merupakan  kesempatan bagi kita untuk merenung dan membaharui komitmen kesetiaan kepada Tuhan, kepada pelayanan Gereja, kepada cita-cita dasar pendiri kongregasi, Mgr. Rutten dan Br. Bernardus Hoecken.

Paus Fransiskus juga mengingatkan kita akan tokoh iman yang patut dijadikan teladan dalam kehidupan sebagai religius yakni Bunda Maria, yang sungguh berserah diri secara total kepada Allah dengan menyimpan segala perkara iman dalam hatinya dan merenungkannya. Paus dengan tegas menekankan agar kaum religius memiliki semangat dan daya juang, terbuka akan tanda-tanda zaman dan tidak mudah mengeluh dengan aneka tantangan. Seperti Bunda Maria kita diajak Paus untuk menjalani tahapan kehidupan dengan penuh semangat.

Sumber Sukacita

Dalam anjuran apostolic Evangelii Gaudium Paus Fransiskus menyinggung adanya umat yang seakan-akan  senantiasa mengalami masa Prapaskah, masih banyak diwarnai dukacita. Bagi Paus sukacita dalam kehidupan merupakan kebutuhan yang mendasar. Dalam Konstitusi FIC dalam konteks ini sangat ditekankan melalui artikel 1 yang antara lain menyebutkan, “Seperti setiap manusia, kita mengingini kebahagiaan yang terdalam dan paling sempurna.” Menjadi pribadi yang bahagia merupakan berkat sekaligus perlu diusahakan. Merupakan berkat karena kebahagiaan yang terdalam bersumber dari kemurahan Allah. Kita juga berjuang agar dalam menghayati panggilan kita sebagai religius diwarnai dengan kebahagian, penuh sukacita. Lalu apa yang menjadi sumber sukacita kita?

Pertama-tama sumber sukacita kita berakar dari pengalaman pribadi kita akan Allah. Allah sumber sukacita, oleh sebab itu melalui kehadiran Yesus Sang Juru Selamat, kita pantas untuk mengalami sukacita dan memancarkan sukacita sebagai tanda dan kesaksian kita akan kedekatan dengan Allah. Sebagai religius (dan umat kristiani pada umumnya), kita adalah orangnya Allah. Kita secitra dengan Allah dan menghadirkan wajah Allah dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai citra Allah, kita pantas dekat dengan Allah, menjalin relasi secara personal dengan-Nya. Seperti ditekankan dalam Injil Markus Bab 3:14, Yesus menetapkan dua belas orang untuk menyertai doa dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil. Panggilan kita pertama-tama untuk dekat dengan Yesus, membangun relasi dengan-Nya. Buah kedekatan kita dengan Yesus kita pergunakan dalam memberitakan Injil, menyampaikan Kabar Gembira. Seorang rasul perlu pertama-tama mengalami kabar gembira sebelum menjadi penyalur kabar gembira bagi sesama.

Sumber sukacita yang kedua adalah kehidupan bersama di komunitas. Konstitusi FIC artikel 36 menegaskan, “Kita dipanggil untuk membahagiakan sesama, terutama mereka yang membentuk persekutuan bersama kita. Kita saling menyebut “bruder” (saudara) dan berusaha untuk menghayatinya di dalam persekutuan kita.” Keakraban satu dengan yang lain menjadikan hidup kita menggembirakan. Oleh sebab itu kehadiran kita dalam acara kebersamaan pantas diperjuangkan. Dengan hadir dan terlibat dalam kebersamaan kita semakin dikenal dan mengenal sesama. Di sinilah diperlukan keterbukaan diri satu dengan yang lain. Kalau hendak dikenal dan dipahami sesama kita perlu membuka diri. Tanpa keterbukaan diri kita akan menjadi pribadi yang asing untuk sesama. Keterasingan membuat kita tidak nyaman dan bisa menjadi batu loncatan untuk menyibukkan diri dengan aneka kegiatan di luar komunitas.

Tantangan menghadirkan sukacita

Paus Fransiskus melalui seruan apostolic Evangelii Gaudium artikel 2 mengingatkan akan bahaya atau tantangan yang kita hadapi dalam menghadirkan komunitas yang terbuka dan sukacita. Paus dengan tegas menyebut, “Bahaya besar dalam dunia sekarang ini, yang diliputi oleh konsumerisme, adalah kesedihan dan kecemasan yang lahir dari hati yang puas diri namun tamak, pengejaran akan kesenangan sembrono dan hati nurani yang tumpul. Ketika kehidupan batin kita terbelenggu dalam kepentingan dan kepeduliannya sendiri, tak ada lagi ruang bagi sesama, tak ada tempat bagi si miskin papa. Suara Allah tak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tak lagi dirasakan, dan keinginan untuk berbuat baik pun menghilang. Ini merupakan bahaya yang sangat nyata bagi kaum beriman juga”.

Sekularisasi yang menekankan rasioIisasi, menyebabkan kehidupan iman memudar. Iman meminta kita untuk mengungkapkan, mewujudkan, dan mengembangkan iman secara seimbang. Sekularisasi membuat ungkapan, perwujudan, dan pengembangan iman seringkali hanya menyentuh sisi permukaan (superficial  palsu, dangkal), justru karena orang lebih sibuk dengan rasio (kognitif) dan kurang mengolah hati (afektif). Akibatnya dalam hidup bersama kadang kita berpusat pada diri sendiri dan kurang peduli dengan kebersamaan. Kadang kita menghidupi dunia sendiri yang berbeda dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh sesama. Akibatnya kita kurang sehati seperasaan dan inilah benih dari keterpecahan serta konflik.

Kita diundang untuk menjadi pribadi yang terbuka dan gembira yang mampu menggerakkan komunitas yang formatif. Kita berusaha menghayati tradisi sehat dalam kongregasi terutama yang sudah disepakati dalam peraturan lokal. Kita juga diundang untuk menjadi komunitas yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kemampuan menyeimbangkan tradisi dan menyesuaikan dengan perkembangan akan membantu kita membentuk komunitas yang terbuka dan membahagiakan. Tanpa sikap adaptif komunitas kita cenderung kaku dan suasananya dingin. Di sinilah dibutuhkan penegasan bersama dalam dialog dan reflektif. Semoga karena rahmat Tuhan kita dimampukan untuk membentuk persekutuan seperti yang kita cita-citakan, komunitas yang terbuka dan mendatangkan sukacita.

Ditulis oleh: Br. Petrus Anjar T, FIC ( tinggal di R.K. Roncalli)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Komunikasi Edisi I th 2024