
Kuhayati perjalanan Maria yang sedang mengandung putranya, di usia kandungan yan sudah tua. Bersama Yusuf, mereka mulai mempersiapkan perjalanan ke Betlehem. Mereka membawa seekor keledai.
Mulanya keledai membawa beban bawaan Maria dan Yusuf. Setelah perjalanan jauh, mungkin dalam kondisi kandungan Maria yang sudah mendekat waktu persalinan, Maria menaiki keledai, dan Yusuf memanggul beban bawaan mereka. Mereka menyusuri jalan ke Betlehem. Itu jalan yang kering, dibakar terik matahari. Juga mungkin debu yang menampar tubuh mereka.
Maria dan Yusuf tiba di Betlehem petang hari. Tentu tubuh mereka letih. Lebih-lebih Maria yang mengandung tua. Perjalanan jauh semacam itu, tentu membuat kontraksi kandungan Maria menguat.
Sebagai pasangan yang miskin, tak mudah bagi Yusuf untuk mendapatkan tempat menginap. Kurasakan galau, sedih, pilu hati Yusuf ketika ia tak juga sanggup menemukan tempat yang pantas bagi Maria. Tapi pasti Yusuf terus mencari, dan mencari.
Sejurus gelisahnya Yusuf, dan lelahnya Maria, janin dalam kandungan Maria tak mau menunda untuk lahir. Kurasakan pilunya Yusuf dan Maria, saat kelahiran sang bayi dalam kondisi yang tak tersiapkan dengan baik. Begitulah akhirnya bayi Maria, Yesus Tuhan kita, dilahirkan.
Perjalanan kelahiran Yesus adalah perjalanan kita. Maria dan Yusuf seolah hanya bisa taat pada rancangan kisah semesta. Dalam kandungan yang menua, dalam kemiskinan, mereka harus membawa Yesus yang masih di dalam rahim. Kelahiran Yesus adalah rancangan kisah agung untuk melunasi dosa-dosa manusia. Kuhayati, perjalanan Maria bersama Yesus dalam rahim itu adalah perjalanan penebusan. Itulah perjalananku sebagai orang yang berdosa.
Ketaatan Maria membawa bayi Yesus di dalam kandungannya, dalam kemiskinan dan jerih payahnya, adalah jejak-jejak tersembunyi pemberian diri Maria demi pelunasan dosa manusia, demi pelunasan dosa-dosaku.
Sungguh ingin aku bertanya kepada Maria, “Mengapa Engkau memaksakan diri untuk ke Betlehem dalam usia kandunganmu yang sudah mendekati kelahiran? Tidakkah engkau sadari derita dan kesulitannya? Tidakkah engkau sadari resikonya?”
Sungguh aku ingin bertanya kepada Maria seperti itu. Tetapi, aku tak berani mendengarkan jawabannya. Cukuplah kuhayati derita dan jerih payah Maria membawa Sang Bayi di dalam kandungannya itu.