Jalan Berliku bersama Sang Guru

Jalan Berliku bersama Sang Guru

Aku dilahirkan dari bapak-ibu yang beragama katolik. Aku lahir pada 24 Januari 1939. Aku dibabtis pada 5 Februari 1939, sewaktu aku berumur 10 hari. Tak berselang lama kehadiranku di dunia ini, aku harus berpisah dengan ibuku, untuk selamanya. Ibuku dipanggil Tuhan. Kala itu, aku masih bocah berusia 2 tahun. Tak banyak yang dapat kuceritakan kenangan bersama ibu. Mungkin ini yang membuatku menjadi tipe manusia yang berwatak seperti ini. 

Aku semakin menyadari, semua orang pasti mengakui bahwa Tuhan menciptakan manusia satu persatu secara istimewa. Bagiku, pertumbuhan manusia menjadi manusia utuh merupakan penciptaan yang berkesinambungan. Bahkan, dengan rencana matang yang tak dapat dipisahkan dalam rangkaian jalan yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta, hingga kesemuanya tak ada satupun yang merupakan kebetulan. Meski tanpa ibuku, kenangan demi kenangan terasa cepat kulalui.

 

Tinggal Kelas tak Membuat Malas

Aku diciptakan Tuhan secara unik. Dengan segala keterbatasan dan ketidakpandaianku. Terasa amat berat bagiku menjadi anak yang tidak terlalu pandai dalam melalui pelajaran-pelajaran di sekolah. Apalagi kalau harus mengalami tidak lulus waktu ujian akhir suatu jenjang terendah dari tataran sekolah. Inilah ujianku terberat kala itu.

Ayahku tak tinggal diam melihat kenyataan demikian. Ia berusaha mengusahakan agar aku tak usah mengulangi jenjang itu, dengan menyuruh mengikuti ujian-ujian lain yang memungkinkan untuk melanjutkan studinya. Kalau jaman sekarang mungkin harus mengikuti paket C. Malu ah ....  

Bagiku, itupun masih terlalu sulit dan tidak lulus juga. Jalan Tuhan memang lain dan tak dapat dimanupulasi oleh keinginan manusia. Maka, mau tak mau orang tuaku harus merelakan anaknya mengulangi jenjang itu lagi untuk menempuh ujian pada tahun berikutnya. Aku pun berusaha menerima kenyaataan ini. Aku tak pernah berhenti belajar, dan belajar.

 

Tak Lulus, namun Mendapat Jalan Mulus

Pada periode tahun ajaran berikutnya, akupun lulus. Namun, waktu mendaftar di SMP PL Yogya, aku tidak diterima. Maka bapak mengajak aku bersepeda ke asrama Sekolah Guru B (SGB) di Muntilan. Waktu itu yang menerima Br. Albrech, Bp.Widayadi dan Bp.Purwasudarmo (ayah dari RP A.Sutanto SJ) yang ternyata teman bapak di Normalschool. Kolusipun terjadi. Pada saat itu juga aku diterima di asrama SGB dengan ikatan dinas. Puji Tuhan…

Jalan Tuhan pun, bagiku unik dan sulit terselami. Terlebih di saat aku mengalami kegagalan di bangku SR. Dalam kegagalan, kutemukan rencana Tuhan. Tuhan telah menunjukkan jalan hidupku sebagai guru. Dan selanjutnya menggiringku menjadi bruder FIC. Andai saja saja aku tidak tinggal kelas, aku tentu tidak bisa merangkai pengalaman seperti saat ini. Tinggal kelas, laksana tinggal di “Bait Allah” yang menempaku untuk terus belajar, belajar dan belajar.

 

Guru Bertabur Ilmu

Di SGB, untuk pertama kalinya aku mengenal buku dan mendapat buku pelajaran. Dan tidak sedikit. Aku belum pernah melihat, apalagi mendapat buku pelajaran. Bagiku, hal ini sungguh istimewa.

Seingatku, sewaktu belajar di SR (SD), tak ada buku pelajaran, tak ada buku tulis, tak ada PR (pekerjaan rumah) tak ada apa-apa kecuali batu tulis dan grip untuk mengoreskan tulisan pada batu tulis atau sabak itu. Guru mengajar hanya secara lisan saja dan apa yang dikatakannya kepada para murid lalu diikuti dengan pemberian soal untuk dikerjakan, dan langsung dikoreksi.

Menariknya, hasil kerja siswa-siswi langsung diperiksa dan diberikan nilai pada batu tulis itu dengan kapur. Nilai yang diberikan guru biasanya ditempelkan di pipi, karena apa yang tertulis di batu tulis langsung dihapus untuk pelajaran berikutnya. Kalau direnungkan, sungguh, alangkah hebatnya guru waktu itu.

Aku sungguh kagum pada guru-guru masa lalu. Tanpa alat, tanpa buku, guru dapat menanamkan dan membenamkan dalam pikiran para siswa-siwi ilmu yang paling dasar dari pengajaran ilmu yang akan diingat sampai waktu seseorang  menempuh ujian akhir jenjang palajaran di SR. Berkat guruku yang bertabur Ilmu, nilai pelajaran hitungku sangat tinggi, mendekati sempurna. Aku juga jago di bidang musik.

Selain ilmu yang kudapatkan selama bersekolah di SR, aku  juga mendapatkan nilai-nilai rohani bukan sebagai ilmu agama tetapi teladan hidup yang dapat menjadi model bagai kehidupan seorang manusia yang sedang tumbuh menuju kedewasaan.

Teladan itu berupa disipilin (tepat waktu), hemat dalam penggunaan alat-alat pelajaran yang sangat minim baik kuantitas maupun jenis peralatan yang dimiliki sekolah. Singkatnya, imanku makin tumbuh. Aku merasakan, hal ini menjadi modal bagiku untuk hidup dan bertekun di FIC.

 

Guru “Edan” di Tengah Jaman

Kenangan di SGB masih terekam jelas dalam benakku. SGB Muntilan periode 1952 -1958 dipimpin oleh Br.Eustatius Wiryasumarta dengan stafnya para bruder Albrecht, Gaudinus, Odolpho (Weliam Kets), Regedius, Landoald, Guntram dan di urusan general affair Br. Gonsalvus, tentu  masih ada staf guru dan tenaga administrasi awam.

Seingatku, awam tidak berfungsi dalam mengelola asrama. Apalagi hingga mempunyai tempat tidur di asrama. Kehidupanku berubah total, dari kehidupan seorng anak desa yang bebas tanpa aturan dan ketentuan yang sangat minim diganti dengan kehidupan dengan acara tetap dan peraturan ketat. Acara asrama dari pagi sampai malam sudah ditentukan rutin setiap hari. Bangun pagi jam 05.00, lalu menysul acara selanjutnya: mandi, misa jam 06.00, sarapan dan lalu sekolah yang dimulai jam 7.30. Tak ada lagi waktu untuk bersantai.

Aku mulai menikmati hidup di asrama. Juga dalam hal makan yang disediakan di asrama. Makan di asrama memang sangat sederhana, boleh dikatakan sangat minim dalam kualitas cukup untuk segi kuantitas. Bagiku, makan yang seperti itu tidak menjadi masalah karena memang makan yang seperti itu sudah lebih baik dari pada makan yang aku rasakan di waktu jaman Jepang yang jauh lebih kurang baik dalam kuantitas maupun kualitasnya.

 

Hidup Doa yang Tertata

Kehidupan asrama yang dipimpin oleh para bruder Onbevlekte Ontvangnis atau OO (FIC sekarang) mengubah total gaya hidupku sebagai anak desa. Keteraturan dalam hidup rohani dengan mengikuti misa setiap hari, pagi dibangunkan dengan suara lantang bruder pengasuh asrama dengan Benedicamus Domino (Berkat Tuhan, Berkah Dalem) menyadarkan aku sebagai orang katolik.

Aku juga mulai tertib dalam hidup doa. Doa malam sebelum tidur yang diselenggarakan dan dipimpin oleh seorang bruder pengasuh asrama adalah sarana pendidikan katolik tulen. Para bruder secara bergantian terlibat penuh dalam menyelengarakan asrama putra yang dihuni oleh sekitar 240 siswa.

Dengan tekun dan displin tinggi para bruder bergiliran menungguhi siswa-siswa dalam berakivitas. Pada jam belajar yaitu jam 3.15 sampai jam 4.30 ada bruder yang berkeliling dari kelas ke kelas sambil berdoa rosario. Sesekali mereka masuk kelas untuk mengontrol apa yang dipelajari para siswanya. Karena kadang siswa tidak belajar sesuai dengan jadwal pelajaran yang sudah ditentukan tetapi belajar lain atau malah membaca ceritera, dongeng ataupun komik. Mencuri-mencuri waktu untuk mengunyah berbagai ilmu.

 

Terharu Jejak Sang Guru

Aku mulai mantap sebagai calon guru. Untuk menjadi guru modal pertama yang ditanamkan oleh para pendidik di SGB Muntilan ialah disiplin, keteraturan dan keimbangan antara intelektual dan moralitas. Intelectualitas ditanamkan dengan memberikan pelajaran secara teratur sesuai jadwal pelajaran oleh guru-guru dengan koalitas pengabdian tinggi.

Pengetahuan para guruku memang sesuai dengan standard normal. Namur dedikasi guru-guruku sungguh pantas mendapat acungan jempol. Hal itu tampak pada hasil ujian yang selalu menunjukkan prestasi nomor wahid. Kombinasi serási antara dedikasi dan pengetahuan membuahkan bentuk watak peserta didik menjadi manusia yang layak untuk bekerja di bidang pendidikan alias menjadi guru.

Aku tak pernah jemu untuk terus belajar menjadi guru, bersama guru-guruku yang semangatnya tak pernah layu. Seluruh sistem pendidikan diarahkan agar para siswa menjadi guru, pengajar, pendidik dan manusia berbakti bagi bangsa, Negara dan pemimpin keluarga yang bertanggungjawab.

Akhirnya, aku siap menjadi guru. Dan… aku pun memutuskan untuk menghayati hidup seperti hidup para guruku. Br.Eustatius Wiryasumarta, Albrecht, Gaudinus, Odolpho (Weliam Kets), Regedius, Landoald, Guntram dan Br. Gonsalvus. Terima kasih para guruku yang telah berbahagia bersama Guru Sejati...

 

Meniru Jejak Guru

Aku mengalami dan merasakan menggulati panggilan sebagai FIC pun tak selalu mulus. Penuh liku-liku. Peziarahan hidup ini penuh rintangan. Tatkala aku harus hijrah ke Ibu Kota, ke SMA PL Brawijaya, seolah rintangan membentangi jalanku. Pada medio 1 Januari 1978, aku mulai berkarya di SMA Brawijaya. Apa yang kujumpai pertama kali saat itu?

Waktu itu, aku melihat siwa-siwa SMA Brawijaya tampilannya seperti serombongan anak muda yang urakan. Mereka tidak memakai seragam, gondrong dan memang tampak dekil. Malah, aku melihat ada anak yang memakai pakaian Timur Tengah minus sorban.. Bagiku, sangat aneh! Mau dibawa kemana anak-anak ini?

Namun, tat kala aku menatap mata dan wajah mereka satu per satu, ada sesuatu yang khas pada diri mereka. Yang pasti mereka adalah anak-anak muda biasa yang tak perlu ditakuti, anak-anak muda yang mau bekerja keras untuk mencapai sesuatu yang berguna, anak-anak muda yang masih membutuhkan pembentukan dan mau dibentuk. Aku pun mulai menatap secercah harapan untuk membentuk mereka menjadi lebih. Pria gondrong, yang tak sekedar grondong.

Seingatku, kehadiranku di SMA PL Barawijaya diawali dengan perpanjangan tahun ajaran selama enam bulan. Bagiku, hal ini pukulan berat. Aku berharap lekas dapat cepat lepas dari siswa kelas tiga yang menjadi momok menakutkan baik dengan postur besar, kenakalan yang cenderung menantang. Andai saja mereka melawan, aku secara fisik akan kalah.  Aku tak kehabisan akal untuk “mengalahkan” mereka.

Aku mencoba cari akal bagaimana memanfaatkan situasi ini dan menyelamatkan prestasi anak-anak tentang pelajaran yang harus sukses. Mulailah, aku mengajak mereka kamping bersama. Lokasi yang kupilih jauh dari hiruk pikuk keramaian dan jauh dari lokasi berbahaya yaitu warung remang yang menjual minuman keras,

Gunung Cangkuang menjadi pilihan utama. Aku menyusul anak-anak yang sudah berada di lokasi diangkut dengan truk-truk militer sampai titik tertentu lalu harus berjalan kaki selama satu jam. Kala itu, aku menyusul naik Honda milik Br.Octavianus. Anak-anak tidak mau percaya saya bisa sampai di camping-ground dengan motor. Namun, setelah mereka melihat motor  yang kukendarai mareka hanya mlongo!

Sajak saat itu, anak-anak tak menampik apa yang  kuperintahkan. Gengsiku di mata anak-anak naik. Aku telah  mematahkan perlawanan mereka. Lalu, aku menelisik pada kitab suci, sungguh benar kata Tuhan “kebahagiaan hanya bisa dicapai lewat Golgota dan Salib”.

Aku juga menemukan sesuatu yang lain dari kamping itu. Aku menemukan makna spirit kehadiran.  Bagiku, kehadiran seseorang yang harus memikul tanggung jawab di antara mereka yang dibawah tanggungjawabnya membawa dampak yang sangat besar dan positif. Bagiku, kehadiran dengan segenap pribadi dan hati merupakan pendorong dan model bagi mereka yang berada di komunitas itu. Bahkan, bukan hanya siswa saja yang merasakannya, tetapi juga di antara para staf yang ikut memikul tanggung jawab itu. Aku mulai percaya diri diantara murid-muridku yang “angker”!

 

Tak Bengong Mendidik Generasi Gondrong

Aku salah satu orang yang mencintai musik clasic. Bagiku, musik clasik itu asyik. Aku pun menemukan makna sebuah irama. Bukankah alunan irama itu kadang rendah, kadang datar, dan ada kalanya melengking tinggi. Begitu juga kehidupan yang kualami di sekolah. Sesudah 10 tahun di SMA Brawijaya,  tepatnya pada  medio 1988 terjadi pergolakan besar.

Aku mengetahui, pada awalnya adalah keinginan para siswa untuk mengadakan ‘jumpa pers’ dengan Kepala Sekolah. Tema yang mereka usung dalam diskusi ialah serba serbi kehidupan di SMA PL. Jujur, kala itu,  aku tak tahu intensi sesungguhnya. Karna kurasa temanya bagus, aku menyetujuinya.

Masih terngiang betul peristiwa itu dalam benakku. Pertemuan akbar itu di rencanakan diadakan di Hotel Hilton yang berada di sudut silang Semanggi atau di kompleks Senayan. Aku baru mulai curiga ketika ibu-ibu POMG bertanya “Bruder tidak takut menghadapi anak-anak itu?” Aku memang tidak merasa ada kekhawatiran apapun. Bagiku, mengahapi mereka sudah hal biasa.

Suatu pagi menjelang pertemuan akhbar itu, ketika aku sampai di sekolah seperti biasa, ternyata pagar sekolah di rantai. Penjaga sekolah tak berani membuka. Aku minta pengungkit apapun, dan saya minta di hancurkan rantai itu. Aku menunggu di situ. Ternyata,  ada demonstrasi di dalam kompleks.

Tak berselang lama, polisi berdatangan dan  aku dilarang menemui siswa-siswa di ‘shelter’ bagian belakang sekolah. Aku tetap tidak mengerti apa kehendak mereka dan apa penyebabnya. Mereka menuntutku mundur. Bagiku tak masalah. “Emangnya seneng dapat tanggungjawab segede ini?” pikirku dalam hati.  Aku tenang saja duduk di kantor. Beberapa saat kemudian, para alumni yang sudah senior datang.

Para siswa dikumpulkan di ‘aula’. Entah apa yang mereka kerjakan. Dari laporan beberapa karyawan tenaga pelaksana, aku mendengar anak-anak di caci maki para senior. Salah satu ungkapan yang sampai ke telingaku “Bruder Michael adalah bruderku, jangan macam-macam. Kalau ada permasalahan dia pasti mau mendengar dan mau diajak berunding. Apa mau kalian sesungguhnya?” kataku sambil menirukan senior itu.

Sekitar pukul 11.30 pertemuan usai. Para alumnus menemuiku “Beres bruder! Apakah bruder mau memaafkan mereka dan menemuinya?” katanya “Why not,” kataku mantap. Hari itu, para guru mengusulkan sekolah diakhiri, esoknya sekolah biasa dan perwakilan siswa akan menghadap kepala sekolah. Keesokan harinya di suatu kelas perwakilan anak-anak dikumpulkan untuk tatap muka dan berwawancara dengan kepala sekolah. Ternyata ada beberapa persoalan yang yang ingin mereka sampaikan.

Seorang anak dengan lantang bertanya padaku, “mengapa todak boleh gondrong lagi. Aku menjelaskan, bahwa waktunya sudah berubah. Gondrong diidentifikasi sama dengan narkobatik. Hal ini kudengar dari baik kepolisian maupun SKOGAR (Satuan Komando Garnisun) waktu itu. Kalian mau tiba-tiba sekolah di geropyok militer dan polisi?

Setelah banyak pembicaraan dan diskusi akhirnya  kutentukan. Ya sudahlah begini saja. Boleh gondrong bagi mereka yang nilai rata-rata diatas tujuh. Wah berat sekali kata mereka. Ya sanggup apa tidak? Mereka setuju. Satu hal lagi gondrong hanya berlaku sampai Ulangan Umum dan sampai ujian. Dinilai tidak gondrong kalau rambut tidak menyentuh kerah kemeja. Kadang aku geli dan tertawa karena ada anak yang licik dengan menggelung rambutnya untuk tidak menyentuh kerah bajunya. “Dasar…” kataku dalam hati.

Persoalan kedua tidak boleh membawa mobil ke sekolah. Kritik dari berbagai kalangan mengatakan anak-anak masih di bawah umur untuk mengendarai mobil sendiri. Aku katakan kepada mereka “Dari banyak orang tua ada informasi bahwa banyak anak yang membawa mobil sampai di rumah larut malam hingga waktu belajar terabaikan. Apalagi di jok mobil kerap diketemukan “rambut pirang” yang bukan rambur anaknya. Aku mau bertanya kalian mau belajar atau mau apa? Sesudah banyak bicara saya usulkan agar mobil tidak diparkir di sekeliling sekolah agar kalau ada pencurian tidak usah ada anak-anak yang menghambur keluar kelas lagi. Sekolah harus dapat berjalan tenang dengan tak usah diganggu pencuri yang kian marak di sekitar sekolah.

Aku juga geli mengingat anekdote ini. Suatu ketika, Pengawas dari Kanwil datang bertanya padaku “Lho libur ta der?” tanyanya “Libur kenapa?” jawabku. “Kok sepi!” sambungnya “Ya di kelas semua!” “Ah masa!” katanya. “Lihat sendiri!”  Pengawas lari keluar dan keliling kelas-kelas. Ia kembali dan berkata: “Ya sudah apa yang harus saya kontrol kalau begini giat mereka belajar dan gurunya mengajar” Dia pergi entah laporan apa yang dia buat.

Masih ada beberapa point lagi. Mereka minta agar tidak memakai seragam seperti seragam sekolah lain. Aku tunjukkan kepada mereka banyaknya anak-anak PL yang diterima di SIPENMARU, dari hari ke hari semakin berkurang, bukan karena hasilnya jelek tetapi karena anak-anak PL tidak berseragam sekolah seperti layaknya sekolah lain. Coba tanyakan kepada anggota POMG berapa kali mereka dan saya ditilpun dari SKOGAR.

Ya sudah begini saja. Senin seragam putih, Selasa, Rabu seragam putih abu-abu, Kamis Jumat seragam kita. Seragam kita, usulkan apa! Mereka usul batik seperti Kanisius! “Huh !”  kataku . “Gak kreatif kalian!” kataku. “Lha apa!”. “Saya usul kotak-kotak bebas dan celana hitam bukan jean”. “Setuju!”  kata mereka. Hari Sabtu bebas penuh asal rapi.

Setelah itu aku pamit. Lalu, aku juga pamit akan mengundurkan diri seperti tuntutan mereka. Spontan mereka berteriak “Jangan!” “Aku merasakan memang sudah terlalu lama memegang Kepala Sekolah, sudah waktunya mundur!” “Tidak!” mereka ngotot. Esok harinya dalam upacara bendera, dipimpin oleh Br.Mercurius mereka minta maaf resmi dan akan tetap menjaga agar nama SMA PL dan prestasi mereka kembali seperti sediakala.

 

Kembali pada Kiblat

Aku bertanya dalam hati, “Mengapa penerimaan siswa lewat SIPENMARU memang terus merosot”. Keadaan demikan tetap membuatku bersyukur. Siswa-siswa mempertahankan komitment mereka dengan hasil ujian yang layak. Kerap kali waktu mengambil lembar sertifikat hasil ujian samar-samar terdengar “Itu lho sekolah yang hasil NEM nya lebih tinggi dari nilai STTB nya. Aku bangga karena anak-anak memegang janjinya. Sampai 3 tahun kemudian, sewaktu aku meninggalkan SMA PL, aku tetap bangga pada mereka.

Pada suatu ketika, sewaktu demo terjadi waktu  itu, aku dibawa oleh POMG mengunjungi orang china tua jelek, kurus untuk menayakan bagaimana kelanjutanku sesudah peristiwa ini. Si Tua yang mengaku jendral dari dynasti Ming itu berkata ada 2 orang yang mengincar posisi saya. Yang satu dijuluki oleh anak-anak “tegel rusak di menara gading”, satunya “si penjil at”.

Jangan takut, kata si jendral Ming. ”Itu di ruang dudukmu ada air. Percikkan air itu sampai habis di seluruh ruang. (Heran dari mana ia tahu. Memang aku punya air Lourdes di kantor). Nasehat yang ke dua ia berkata dan menegur “mengapa kebiasaanmu berdoa sebelum berangkat dan sesudah pulang tidak diteruskan. Aku tak menjawabnya. Memang betul, peraturan konstitusi lama mengharuskan para bruder berkunjung di kapel sebelum berangkat dan sesudah pulang. Kebiasaan ini kulupakan. Aku perlahan-lahan memulai lagi setelah peristiwa ini.

 

Tak Lelah Menjadi “Guru” di Majalah

Aku pernah bekerja di Majalah HIDUP selama 15 tahun. Pada waktu itu, medio 1992, aku menjadi penerjemah untuk rubrik Gema Vatikan. Satu tahun kemudian, aku juga membantu bagian personalia.

Aku merefleksikan bahwa setiap langkah dalam hidup ini kutemukan rintangan. Aku juga menelusuri kehidupan Yesus. Yesus dalam hidup-Nya tak pernah ada jeda menghadapi rintangan. Sampai di kayu salib-Nya, Yesus akrab dengan rintangan.

Bagiku, menghadapi hidup yang penuh rintangan dan onak duri ini, membutuhkan ketekunan. Aku belajar bertekun untuk menghadapi rintangan yang dapat muncul setiap waktu. Aku berusaha untuk memiliki sifat tanggap dan ‘alert’ (sigap, cekat-ceket) dalam menghadapi rintangan sekecil apapun.

Bagiku, tidaklah baik mengabaikan rintangan sekecil apapun. Mengambil tindakan cepat dan akurat akan mengurangi timbulnya rintangan yang lebih besar. Untuk dapat meminimalisir dampak rintangan atau permasalahan perlulah pengetahuan atau kemampuan mengelola permasalahan yang ada.

Aku ingin berbagi bagaimana mengelola permasalahan. Permasalahan yang ada di sekitar yang menyangkut karya, kita kelompokkan dengan rinci sesuai dengan jenis dan gradasi kesulitannya. Perlu dicermati kapan permasalahan itu muncul, dan segera muncul segera dicarikan penyelesaiannya.

Demikian pengalamanku waktu itu. Ketika itu pelanggan majalah HIDUP menurun drastis, penjualan sulit berkembang. Muncullah di mana-mana majalah baru yang menggoda termasuk majalah paroki yang mulaia tampil menarik lebih-lebih di kalanagn muda, belum lagi majah-majalah profane dengan sajian berita, opini, ceritera dan rubrik-rubrik lain yang menawan banyak pemuda baik tua maupun muda diserta gambar-gambar, ilustrasi yang dikemas indah. Wartawan-wartawan majalah HIDUP mulai melirik dan mendiskuikan dengan serius kenyataan ini.

Akhirnya timbul usulan agar majalah HIDUP mengubah diri menjadi majalah umum seperti lainnya.  Pertanyaan ideologis yang aku lemparkan ke floor tentang visi apa yang terpikirkan mengenai mjalah baru itu tak ada yang bisa menjelaskan ataupun memberikan jawaban. Semua terdiam. Dari awal karyawan majalah HIDUP sudah tahu bahwa majalah HIDUP ialah satu-satunya majalah katolik yang mempunyai muatan dan merupakan benteng ajaran, semangat katolik baik untuk kalangan katolik maupun yang non katolik.

Aku merasakan, kesulitan atau rintangan nyata yang akan dihadapi kalau Majalah HIDUP menjadi majalah umum adalah bersaing di pasaran bebas dengan majalah lain, sedangkan majalah HIDUP memiliki pasar khusus di tengah-tengah umat katolik.

Waktu itu, kemarahan terjadi dan anggapan merintangi perkembangan mungkin akan terjadi dan ini perlu ditangani dengan bijaksana perlu tindakan tepat. Satu-satunya cara yang terpikirkan saat itu ialah permintaan ketegasan dari pemilik majalah yaitu Bapak Uskup Jakarta. Kesempatan memang kebetulan cepat tiba, dengan penegasan Majalah HIDUP harus tetap menjadi majalah Katolik seperti visi yang pernah dipaparkan sebelumnya. Aku pun tak lelah berkarya di majalah.

 

Managemen mengelola masalah

Dari kisahku di atas, tampak betapa perlunya impian yang jelas dan riil agar kita dapat termotivasi dalam karya betapun besar rintangan dan tantangan dari mereka yang berada di sekitar kita. Tanpa impian/visi tamatlah semangat untuk melanjutkan karya.

Dalam lingkup pekerjaan akan kita temua ratusan mungkin ribuan permasalahan yang kita hadapi. Dari ilustrasi-ilustrasi tada hanya merupakan segelintir saja sebagai contoh masih ada raaatusan dan mungkin ribuan tak dapat dipaparkan. Semua membutuhkan perhatian kita dan semua minta penyelesaian secara cepat, tepat dan akurat. Perlulah kita mengatur hingga kita tidak terbenam di dalamnya yang akan membawa kaita pada keputus-asaan yang tak perlu terjadi. Perlulah memilih sekala prioritas. Itu yang kuusahakan.

 

Managemen komunikasi

Bagiku, kunci keberhasilan lepas dari keterpurukan, kalau sudah terjadi, terletak pada baik buruknya hubungan diri kita pada rekan-rekan yang berada di lingkup kerja. Aku tertarik dengan seorang nabi. Nabi Mikha dalam bab 6:8 mengatakan bahwa perintah satu-satunya dari Allah adalah mengamalkan keadilan, mencintai sesama dan merunduk di hadapan Allah.

Dan lagi, bagiku hubungan baik dengan rekan-rekan dilandasi hati yang jujur dan adil, penuh kasih sayang adalah kunci kebangkitan di waktu kita mennggung beban berat dan susah. Rekan-rekan yang mendukung, membantu dan menghibur di kala susah adalah bak pelampung yang menahan kita di waktu tenggelam. Aku semakin menyadari, managemen komunikasi menolong kita menanggung permasalahan bersama dengan rekan.

Setiap orang pernah mengalami kegagalan. Bagiku, untuk bangkit dari kegagalan, aku selalu perlu mulai membangun visi yang jelas. Membangun relasi dari sense(rasa) adil, afeksi, dan trust.

Sekali lagi, betapa unik panggilan hidup ini. Tuhan menyapa dalam setiap peristiwa. Barangkali, sekelam apapun pengalaman yang dialami, justru akan menjadi soko guru, karena Allah sungguh berkarya di dalamnya.  Allah selalu terlibat, maka aku harus membagi berkat untuk semua sahabat, kerabat, dan umat.