Belajar Menang, Belajar Kalah

Belajar Menang, Belajar Kalah

Apakah kemenangan, apakah kekalahan itu? Apakah yang tak pernah boleh hilang dari kita setelah kita, entah menang, entah kalah?

Kehidupan mencatat tentang peristiwa kemenangan dan kekalahan. Salah satunya kemenangan Daud atas Goliat. Semestinya Saul bersyukur atas Daud yang dapat mengalahkan Goliat, dan negerinya terbebas dari ancaman orang Filistin. Tetapi kemenangan-kemenangan perang Saul bersama Daud selanjutnya justru akhirnya dialami sebagai teror psikologis bagi Saul. Aneh.

Sorak-sorai rakyat yang berseru, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” – sejatinya adalah ungkapan spontan rasa syukur rakyat. Kitab Suci mencatat, Saul mengalami teror psikologis karena sorak-sorai rakyat yang memuji-muji Daud. Itu sebentuk hoaks psikologis politis. Dalam hati Saul berpikir, “Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itu pun jatuh kepada Daud.” Akhirnya Saul menghayati realitas kemenangan justru sebagai kesialan.

Meragamkan sudut pandang

Pada kisah Saul, mungkin saja ia mendapat bisikan politis yang memiskinkan sudut pandangnya. Pembisiknya menciutkan realitas hidup dalam kemenangan yang mestinya disyukuri, menjadi sebuah hoaks politis yang mengancam kekuasaan. Pada kisah Saul ini kita melihat kemenangan yang mestinya menghadirkan ruang longgar untuk menjalani kehidupan bermakna bermartabat, justru berbalik menciutkan ruang kehidupan karena orang telah diperbudak oleh kekuasaan. Begitulah kalau seseorang rapuh dalam meragamkan sudut pandangnya atas realitas yang dialami.

Pembelajaran atas kisah-kisah kehidupan menolong kita untuk meragamkan sudut pandang kita atas realitas kehidupan. Gandhi yang mati ditembak bukanlah kekalahan, tetapi kemenangan atas keteguhan manusia yang memperjuangkan kebermartabatan kehidupan. Terbuangnya Nelson Mandela bertahun-tahun dalam penjara bukanlah kisah kekalahan, tetapi kemenangan keteguhan keyakinan manusia bahwa kesewenang-wenangan rasial adalah kekeliruan cara manusia dalam menghayati kehidupan.

Kita juga belajar bahwa dibuangnya Soekarno oleh penjajah bukanlah kisah kekalahan. Faktanya, di tempat-tempat pembuangan Soekarno justru mendapat asupan ilmu yang membuncahkan gagasan dan gelora jiwanya untuk memerdekakan dan memartabatkan bangsanya.

Dari dunia sastra kita juga bisa belajar dari kisah Rahwana dan Sinta. Kematian Rahwana dalam perjuangannya untuk mendapatkan Sinta tidak harus selalu kita ajarkan dan hayati sebagai kisah kekalahan. Mungkinkah bagi Rahwana itu justru kisah kemenangannya dalam merawat cinta rindunya pada Sinta? Mungkinkah juga kita mengambil sudut pergulatan Sinta saat ia menyadari bahwa ada pribadi yang berjuang mendapatkan cintanya hingga rela mengorbankan nyawa?

Rasa pergulatan dari sudut Sinta ini kian mengharu biru pada kisah saat Sinta diuji (atau dicurigai?) kesuciannya oleh Rama, dengan adegan mengenakan cincin yang dibawa Anoman. Siapakah yang menang, siapakah yang kalah dari kisah Rama, Sinta, dan Rahwana? Apa makna kemenangan dan kekalahan pada kisah itu?

Belajar menang dan kalah

Dalam tradisi latihan rohani, kemenangan itu seperti hiburan rohani dan kekalahan itu seperti kesepian rohani. Ignatius Loyola menasihatkan saat seseorang mengalami hiburan rohani (suasana kemenangan) hendaklah tetap waspada bahwa kesepian rohani (suasana kekalahan) bisa saja segera menghampiri. Artinya, kemenangan maupun kekalahan itu tidak abadi, bahkan hanya sesaat.

Dalam kemenangan seseorang justru harus mempersiapkan diri agar jiwa dan mutu hidupnya tetap terjaga ketika kekalahan menghampiri kemudian. Apalagi ketika kita sadar, bahwa kemenangan yang dialami didapatkan dengan cara yang tidak elok. Kemenangan jangan sampai memabukkan hidupnya. Maka orang yang sedang mengalami kemenangan harus terus merendahkan diri dan mengakui keterbatasan dirinya. Ia harus mengakui betapa rapuh dirinya saat menjalani pengalaman kalah.

Saat mengalami kekalahan (kesepian rohani) Ignatius Loyola menasihatkan kita agar menyadari bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengalami periode/realitas hidup yang menyulitkan itu. Dengan kemampuan diri itu kita diajak terus membuka diri untuk ditolong oleh rahmat Tuhan.

Ignatius Loyola mengajak orang yang sedang mengalami kekalahan untuk mengoptimalkan seluruh daya hidup dan kreativitasnya, sehingga ia bertahan dalam realitas hidup yang tidak menyenangkan itu, lalu berharap agar realitas hidup berubah dan mengalami hiburan rohani/kemenangan. Sebab, dalam realitas kekalahan itu bisa jadi merupakan episode hidup berahmat, ketika seseorang dididik oleh Tuhan yang seolah-olah membiarkan manusia mengelola kesulitan hidup dalam kemampuan kodratnya, untuk akhirnya menerabas kehidupan yang terasa gelap dan sulit.

Cara mengalami kekalahan seperti ini diperkaya oleh pemikiran Alfred North Whitehead (1861-1947) yang memandang Tuhan sebagai Pribadi yang menciptakan dunia/manusia dengan menawarkan kepada dunia/manusia kemungkinan yang kreatif secara persuasif. Tuhan senantiasa berusaha memikat manusia agar ia dapat berkembang ke arah intensitas makna atau bobot hidup yang lebih tinggi atau bermartabat. Tuhan menghargai prinsip kebebasan manusia (otonomi) untuk menentukan pilihannya. 

Menimbang pemikiran Whitehead, Tuhan pasti hadir dalam pengalaman kekalahan. Tuhan hadir dan terlibat untuk menguatkan manusia hingga manusia mampu memanfaatkan dengan optimal segala potensinya (anugerah dari Tuhan) dalam menjalani suasana serta realitas kekalahan. Akhirnya manusia mampu mengalami “kemenangan” atas kehidupan.

Dengan demikian, kemenangan dan kekalahan bisa dialami sebagai ruang dan waktu bagi manusia untuk terus belajar memberdayakan dan memartabatkan dirinya. Kemenangan dan kekalahan adalah kesempatan bagi manusia untuk berproses. Kalau Stephen R. Covey penulis buku 7 Habits of Highly Effective People mengajak kita untuk lebih fokus pada proses ketimbang hasil, itu artinya kita diajak untuk terus menjadikan dan mengalami realitas hidup kekalahan maupun kemenangan sebagai anugerah, dan menjadikannya kesempatan belajar. Itulah jalan untuk menjadi manusia unggul berkarakter.

Semoga kita tidak terus dijebak oleh romantisme kemenangan maupun kegalauan kekalahan. Terhadap keduanya, kita mesti belajar dan berefleksi dengan obyektif, agar hidup kita naik kelas dan bermartabat. Entah menang, entah kalah, kita mesti bertanya apakah pengalaman itu selanjutnya bakal menyelamatkan jiwa kita (beroleh anugerah surga), atau justru menyandera jiwa kita?