Mgr. Ludovicus Rutten

Louis Rutten lahir pada tanggal 8 Desember 1809. Rutten meninggal pada tahun 1891, jadi Rutten hidup sampai usia lebih dari 80 tahun. Ayahnya sangat kaya; ia termasuk orang yang sangat kaya di kota Maastricht saat itu. Ketika Rutten baru berusia lima tahun ibunya meninggal. Kemudian Rutten dan saudara saudarinya yang total berjumlah lima orang itu diasuh oleh neneknya. Nenek Louis mengambil alih tugas ibunya dengan sebaik mungkin.

Pengalaman belajarnya di sekolah dasar tidak stabil. Rutten sempat meraih prestasi. Namun ketika ia lebih asyik dengan kesenangan akan mainan, prestasi studinya anjlok. Meskipun Rutten adalah siswa yang cerdas, ia hanya sampai kelas empat. Semestinya Rutten belajar sampai kelas keenam.

Agaknya ayahnya setuju ketika Rutten harus menyerah/tidak melanjutkan sekolah. Saat itu Rutten berusia 16 tahun. Ia mulai bekerja di sebuah kantor pengacara dengan masa percobaan. Sebagai anak dari seorang ayah yang kaya, Rutten diizinkan untuk belajar sesuatu tentang profesi ini.

Pada saat yang sama Rutten diizinkan untuk mengatur jam kerjanya sendiri. Secara bertahap agaknya Rutten bekerja lebih sedikit dan lebih sedikit. Setelah beberapa waktu Rutten juga tidak melanjutkan latihan bekerja di kantor.

Pada masa itu Rutten sering berjalan-jalan di pedesaan bersama ayahnya. Dia mencintai alam; dia menyukai semua jenis hewan, seperti ayam dan merpati. Sebagai anak orang kaya, dia juga belajar menunggang kuda; dia belajar menari dansa dan menikmati hiburan sosial.

Mendengar hal ini, orang akan berpikir: anak seperti apa sebenarnya Louis Rutten ini? Apakah ia anak yang manja? Apakah ia seorang pemuda yang tidak memiliki semangat dan hanya melakukan hal-hal yang membuatnya senang? Dan apakah ayahnya selalu menuruti kemauannya?

Rutten sendiri di kemudian hari menulis bahwa pada periode ini ia menjadi semakin serius dan religius. Jelaslah, ini bukanlah periode yang sembrono sama sekali. Ketika Rutten masih suka berjalan-jalan dan tampaknya ia hanya ingin menjalani kehidupan yang mudah, secara tak terduga Rutten mengatakan kepada ayahnya bahwa ia ingin menjadi seorang imam.

Tampaknya aneh sekali. Sepanjang hidupnya Louis Rutten sangat melankolis dan pesimis. Hal ini pasti berpengaruh pada kehidupan dan karyanya. Namun pada saat yang sama Louis Rutten adalah seorang pemuda yang menawan, ramah, dan memiliki banyak teman. Seorang pemuda yang idealis juga, yang memiliki belas kasihan yang mendalam terhadap orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan atau berduka.

Bagaimanapun, Louis Rutten ingin menjadi seorang imam. Hal ini lebih cepat diucapkan daripada dilakukan, karena hal ini menyiratkan (bahwa) dia harus mulai belajar lagi selama bertahun-tahun.

Itulah yang Rutten lakukan dengan sangat keras dan tekun. Ada surat-surat dari masa saat Rutten bersekolah tentangnya dari para guru dan teman-temannya. Pada surat-surat itu mereka menulis bahwa mereka memiliki harapan yang besar terhadap Rutten, bahwa Rutten sangat menarik, menjanjikan dan sangat menyenangkan.

Rutten sendiri menulis dalam riwayat hidupnya bahwa jika dia tidak mengalami banyak masalah perut pada masa itu, dia akan menjadi seorang misionaris. Karena hal ini tidak mungkin dilakukan karena kesehatannya yang buruk, ia berniat untuk bekerja sebagai imam di pendidikan agama bagi kaum muda miskin. Jadi, ia ingin menjadi seorang imam, bukan hanya seorang kurator atau pastor paroki, tetapi ia ingin mengabdikan seluruh hidupnya untuk anak-anak miskin.

Komitmen Rutten itu lahir karena ia melihat bahwa itu sangat dibutuhkan. Maastricht pada masa kanak-kanak hingga setelah Rutten ditahbiskan menjadi imam adalah sebuah kota dengan pabrik-pabrik besar. Para pekerja di pabrik-pabrik itu sangat miskin.

Saat itu sebagian besar buruh pabrik di Belanda sangat miskin dan cara hidupnya tidak manusiawi. Para pekerja pabrik dieksploitasi; upah mereka sangat rendah; mereka harus bekerja dengan jam kerja yang panjang dan di atas semua itu, pekerjaan itu sering kali berbahaya bagi kesehatan mereka.

Gaji para pekerja amat kecil. Akibatnya para istri juga harus bekerja di pabrik. Bahkan anak-anak para buruh itu juga harus ikut bekerja. Anak-anak yang belum bisa dipekerjakan sepanjang hari dibiarkan berkeliaran di lorong-lorong kota Maastricht. Keluarga buruh yang sangat miskin seringkali meletakkan bayi yang baru saja dilahirkan di jalanan kota karena mereka tidak mampu merawatnya.

Kehidupan Maastricht semacam itu menjadi ruang dan waktu istimewa bagi Rutten. Penderitaan orang miskin di Maastricht, khususnya anak-anak yang malang dan terancam jiwanya, agaknya mengoyak nurani Rutten. Ia terpanggil untuk ikut bertanggungjawab memartabatkan kehidupan orang miskin di kota Maastricht demi keselamatan jiwa mereka. Untuk itulah Rutten memulai karya amal kasihnya, lalu melahirkan Kongregasi FIC.