Pertumbuhan dan Perkembangan Kongregasi

Pertumbuhan dan Perkembangan Kongregasi

Dari benih yang kecil dan tidak sempurna, Kongregasi FIC terus tumbuh dan berkembang. Pastor Rutten dan Bruder Bernardus berdaya upaya mewujudkan cita-cita mereka dalam dan lewat persekutuan yang mereka dirikan. Dalam perjalanan tampaklah Rutten lebih banyak tertarik untuk menyelenggarakan karya amal – karya amal baru. Sementara itu Bernardus juga memandang perlunya memberi perhatian dalam hal religius.

Betapa sulitnya memadukan kedua kecenderungan Rutten dan Bernardus itu dalam hidup sehari-hari. Karya yang harus dilaksanakan para bruder amat banyak jenisnya serta menghabiskan amat banyak waktu. Akibatnya kesempatan untuk penyadaran terhadap segi religius hampir tidak ada waktu tersisa lagi.

Bernardus sanggup untuk bersama para bruder menolong di mana saja mereka dibutuhkan, tetapi harus ada batasnya juga. Bernardus berusaha agar para bruder masih dapat meluangkan waktu untuk berdoa, pendalaman, dan hiburan.

Rutten pun mengerti bahwa semua itu perlu, namun ia amat tersentuh oleh penderitaan yang setiap hari dihadapinya, sehingga ia mudah terdorong memprioritaskannya. Bahkan para novis dan kemudian para postulan pun diikutsertakannya dalam karya itu.

Teman akrab Rutten di Den Bosch, sekretaris Wilmer, pernah mamperingatkan Rutten, supaya jangan menempatkan para novis di bruderan-bruderan cabang. Sebab dengan berbuat demikian, ia akan merugikan pembentukan rohani mereka. Kata Wilmer lagi, ada bruder yang amat banyak tugasnya, sehingga mereka tidak punya waktu lagi untuk menjalankan retret.

Di bawah ini disajikan beberapa catatan dari buku harian Bernardus, yang menunjukkan beberapa kesulitan yang dihadapinya pada masa permulaan itu:

"Banyak karya telah dimulai oleh sekelompok bruder yang belum berpengalaman; seperti kuda yang dipasang di belakang kereta daripada di depannya, dengan pengemudi yang belum tahu cara mengemudikannya".

"Sebenarnya kami yakin bahwa ada banyak usaha baik dilaksanakan para bruder, khususnya di antara anak-anak piatu; tetapi Tuhan tidak menghendaki bahwa semua pekerjaan itu ditangani sekaligus, lebih-lebih jika usaha yang satu merugikan usaha yang lain.

Karya yang dikerjakan para bruder lebih banyak daripada apa yang dapat dipertanggungiawabkan. Jumlah bruder di beberapa bruderan cabang, yaitu panti asuhan di kota Amsterdam serta lembaga anak tunarungu di Sint Michielsgestel, perlu ditambah.

Demikian juga jumlah kelas di biara induk makin kurang cukup, sebab tiap-tiap hari ada murid baru yang datang mendaftarkan diri; maka perlulah ada penambahan ruang kelas. Karena kekurangan jumlah bruder yang sudah profesi, beberapa novis terpaksa ditugasi merawat orang sakit di rumahnya; situasi semacam ini kurang baik.

Gedung biara induk nampaknya sebagai reruntuhan, karena banyaknya pekerja yang sedang bongkar pasang rumah itu. Di samping itu masih ada saja beberapa calon yang baru masuk, yang perlu mendapat perhatian.

Boleh dikatakan bahwa seluruh usaha kami (yaitu pendirian kongregasi) sewaktu-waktu akan dapat digugurkan; seandainya ada tiupan angin yang kecil saja, sudah cukup untuk memusnahkan karya yang telah dimulai. Belum ada dasar yang kukuh, tidak ada dukungan, hampir tidak ada perlindungan atau bantuan.

Selain pendiri yang penuh semangat itu, tak ada orang lain yang mau melibatkan diri; mereka takut akan dikecewakan, sebab tidak berani percaya bahwa usaha itu akan berhasil. Semuanya dianggap bagai sebuah bunga yang dalam waktu beberapa hari saja akan layu..."

"Harus diakui juga, bahwa hal-hal yang menyangkut hidup religius, tarafnya masih sangat rendah, mengingat :

  • Jumlah anggota masih belum cukup untuk menangani segala pekerjaan dengan teratur;
  • hampir tidak ada waktu dan tempat yang sesuai untuk melaksanakan latihan rohani dengan pantas; bacaan rohani sering tidak terlaksana, kecuali kadang-kadang pada waktu makan;
  • Pendidikan para novis sangat kurang cukup; hanya bisa diharapkan, bahwa hal itu di hari kemudian masih dapat dikejar.

Singkatnya: kekurangan itu ada di segala bidang, dan segala kesibukan itu kurang terarah."

Pada tahun 1845 timbul masalah baru antara Rutten dan Bernardus yang berhubungan dengan konstitusi. Oleh Bernardus hal itu dibeberkan agak panjang lebar dalam buku hariannya. Beberapa hal tersebut seperti:

"Regula (jika boleh disebut demikian) yang dibawa dari Belgia, dalam banyak hal masih perlu diubah dan disesuaikan, supaya bisa cocok bagi kongregasi kita... Berdasarkan pengalaman, pertanyaan, penyelidikan, serta (dengan minta) nasihat dari orang ahli, menjadi jelas bahwa ada perbedaan antara 'Regula', 'Konstitusi' dan 'Adat Hidup Religius'/Peraturan-peraturan.

Bruder Overste, yang mungkin terlalu rajin mendesak supaya hal-hal itu dipisahkan satu dari yang lain. Paduka Pendiri, yang tidak tergesa-gesa seperti Overste, tidak begitu yakin akan perlunya hal itu dan menganggapnya sebagai pendapat yang keliru dari pihak Overste. Sikap sabar yang bijak itu, menyebabkan Overste mengalami banyak kesusahan...

Rupanya Setan tidak mau mengabaikan kesempatan sedikit pun untuk menimbulkan perpisahan serta perbedaan pendapat antara Paduka Pendiri dan Overste, yang menyebabkan timbulnya banyak kekecewaan dan perlawanan bagi Overste itu.

Bruder Bernardus masih ada pada taraf permulaan hidup religiusnya, namun ia ingin dan merasa wajib melaksanakan karya yang besar. Rencana serta peraturan yang dianggapnya perlu, ditolak Pastor Rutten, karena dianggap kurang dipikirkan.

Hari-hari itu sangat tidak enak bagi Bernardus, karena merupakan waktu penuh pencobaan. Kadang-kadang ia lupa, bahwa semua usaha yang baik hanya bisa maju dengan perlahan-lahan saja dan membutuhkan banyak kesabaran dan kepercayaan diri sendiri.

Dengan demikian, semuanya berjalan dengan amat lambat dan kurang lancar... (Akhirnya diminta perantaraan seorang Pater ahli. Rutten dan Bernardus
bersama-sama mendatanginya untuk membicarakan masalah mereka. Pada tahun 1855 diterbitkan sebuah buku dengan 'Adat Kebiasaan Komunitas' dan sebuah buku lain lagi yang berjudul
'Penerapan Regula Suci'.)"

Dalam laporan tahun 1846, Bernardus memulai beritanya dengan memberitahukan, bahwa akan didirikan sebuah sekolah taman kanak-kanak (sedangkan pada saat itu juga kapel baru sedang dibangun). Dikatakannya, antara lain:

"Pekerjaan para bruder: mengangkut batu merah dengan sebuah gerobak kecil, kapur dalam sebuah kotak, batu dan tanah dalam sebuah keranjang, menggali, memikul ini dan itu, dan seterusnya. Semboyannya: Ayo, cepat! Maju! Lekas!

Para bruder di hari kemudian pantas mengingat, bahwa yang kami kerjakan bukanlah kerja gampang, melainkan pekerjaan berat dan tanpa hentinya. Makanan sedikit, kurang bermutu dan kurang masak, roti yang murah, dan seterusnya.

Sungguh masuk akal bahwa para pekerja tidak selalu bersemangat dan bahwa bekerja sebagai kuli, terus-menerus dan tanpa hentinya, mengakibatkan di antara para bruder dan novis ada yang merasa merosot semangatnya. Yang mereka alami tidak sesuai dengan yang mereka harapkan di biara, sehingga ada yang lebih suka pulang ke rumahnya. Memang hal itu kadang-kadang terjadi. Tetapi, mau apa?

Banyak yang harus dikerjakan dengan uang yang hanya sedikit saja. Oleh sebab itu, Paduka Pendiri dan Bruder Overste berusaha sekuat tenaga dan mendampingi para bruder dalam pelaksanaan tugasnya...

Maka, tidak mengherankan bahwa Bernardus mencari jalan untuk sedapat mungkin mengubah dan mengatur keadaan yang kacau itu, supaya dengan demikian bagi para bruder diciptakan kemungkinan untuk dapat memberikan perhatian yang lebih sungguh pada hidup rohaninya. Ia tahu, bahwa dengan mewujudkan rencana itu, Pastor Rutten mungkin sekali tidak akan menyetujuinya. Namun, Bruder Bernardus tidak mau mundur.

Dalam waktu sedikit yang masih tersisa setiap hari, ia sibuk menyesuaikan Regula Bruder Karitas, supaya sedapat mungkin dicocokkan dengan perubahan keadaan. Walaupun regula itu pada tahun 1841 sudah mendapat persetujuan sementara, namun sesudah waktu dua tahun menjadi nyata bahwa penghayatannya masih kurang memuaskan. Bernardus sendiri dapat mengerti situasi itu dengan sepenuhnya, tetapi tentu saja hal itu tidak dikatakannya kepada para bruder. Memang, waktu untuk berdoa dan untuk latihan rohani telah ditetapkan pada kertas, tetapi jumlah pekerjaan tetap tidak berkurang".

Yang paling menyusahkan Bruder Bernardus yakni bahwa tidak ada seorang pembimbing rohani yang cakap untuk mengembangkan serta memperdalam semangat religius para bruder.

Pastor Rutten agak tidak cocok untuk tugas itu, sebab ia seorang pekerja dan bukan seorang yang tertarik pada aktivitas pendalaman rohani, apalagi pengajar. Ia lebih cocok sebagai penilik, pengawas, pembangun, dan kuli sekaligus, seseorang yang suka menjadi 'buruh' di kebun anggur Tuhan, yang bangga atas belulang di telapak tangannya. Perintah Tuhan, bahwa manusia harus 'mencari nafkah dengan bersusah payah dan berkeringat', diartikannya secara harafiah. Pandangannya tidak lebih jauh daripada itu. Mungkin juga ia tidak berani memikirkan lebih jauh lagi.

Sebaliknya Bernardus, yang mengerti bahwa pengabdian yang paling antusias pun dalam karya berat setiap hari, tidak akan memberikan jaminan bagi hidup religius yang sesungguhnya. Hidup religius yang sejati memerlukan pertobatan, hidup berdoa, dan kontemplasi. Oleh sebab itu, Bernardus yakin bahwa masa novisiat yang hanya setahun lamanya pasti tidak cukup. Sedangkan janji setia sesudah satu tahun, akan merupakan langkah yang terlalu riskan.

Setelah mempertimbangkan secara masak hal yang akan dilakukannya, Bernardus memutuskan akan mengikrarkan kaul pada tanggal 2 Februari 1842, bersama Bruder Etter, yang sejak permulaan menjadi teman seperjuangannya. Kaul itu bersifat sementara dan bagi Bernardus akan berlaku selama lima tahun, sedangkan bagi Etter selama tiga tahun. Pada tahun yang sama masih ada seorang bruder lain lagi yang mengucapkan kaul, sehingga kongregasi terdiri dari tiga bruder yang sudah profesi. Di samping itu masih ada empat novis.

Perluasan karya kongregasi

Bruder Bernardus selalu merasa diombang-ambingkan antara dua masalah yang masing-masing memang penting: pendalaman semangat religius para bruder dan sangat mendesaknya dorongan untuk memenuhi permintaan dari berbagai pihak dan tempat agar para bruder mau datang menolong menangani masalah pendidikan anak-anak miskin dan terlantar.

Walaupun jumlah bruder masih sangat terbatas, namun dalam waktu satu tahun telah didirikan tiga cabang: 21 April 1845 bruderan cabang yang pertama dibuka di Sint Michielsgestel, tempat para bruder mulai membantu di lembaga pendidikan anak-anak tunarungu. Pada 1 Mei mereka mulai mengasuh anak yatim piatu di kota Amsterdam. Pada 1 November tahun yang sama pula, karya yang serupa dimulai di bruderan yang kedua di kota Den Bosch. Di kota itu dua tahun sebelumnya (1 November 1843) mereka sudah mengambil alih sebuah sekolah dasar di suatu paroki sebagai pemenuhan janji kepada pastornya setelah tiga orang bruder lulus dalam 'ujian ajaib' itu.

Pada tanggal 29 Desember 1846 dibuka sebuah cabang lain lagi di kota Amsterdam, yaitu sebuah panti asuhan bagi anak-anak yatim piatu. Pembukaan 'bruderan' itu sebenarnya berdasarkan suatu kasalah pahaman. Seorang bruder dari panti asuhan yang sudah ditangani para bruder dibujuk seorang pater Yesuit supaya mengasuh anak yatim piatu di sebuah bagian lain di kota itu. Bruder Vincentius (nama bruder itu) menganggap hal itu sudah disepakati antara pater itu dan Bruder Bernardus. Padahal Bruder Bernardus tidak tahu sama sekali.

Ketika Bernardus mendengar kabar itu, seketika itu juga ia berangkat ke Amsterdam, di tengah musim dingin lewat perjalanan yang jauh. Ketika tiba di 'bruderan' yang baru itu, ia mendapatkan situasi yang tak masuk akal: seorang bruder bersama empat belas anak tinggal dalam sebuah gedung yang sangat jelek. Tidak ada kaca pada jendela, atapnya rusak, tidak ada alat pemanas dan tidak ada tempat tidur. Bahkan makanan pun tidak ada. Kasihan Bruder Vincentius dan anak-anak itu.

Ketika Bruder Bernardus mengerti bahwa semua itu terjadi karena salah paham belaka, sebab baik pater Yesuit maupun Br. Vincentius bertindak karena terdorong rasa belas kasihan terhadap anak-anak yang berada dalam keadaan yang memilukan itu, maka Br. Bernardus menyerah, bahkan berjanji selekas mungkin akan mengirim bantuan materi dan dua orang bruder lagi.

Pada tanggal 16 April 1847 Br. Bernardus sekali lagi menyerah setelah vikep di kota Hasselt (Belgia), sangat mendesak agar kongregasi rela menolong: mengasuh sejumlah anak yatim piatu. Oleh karena pada tahun itu juga sejumlah calon baru diterima masuk biara induk di Maastricht, dan karena keadaan di Hasselt sangat mendesak, maka Br. Bernardus mengutus dua orang bruder, kemudian masih ditambah dua orang postulan.

Tugas mereka berat sekali, sebab bahan makanan terlalu mahal akibat kegagalan panen, sedangkan perumahannya pun sangat kurang memadai. Tergerak rasa kasihan, Br. Bernardus berulang-ulang datang menolong mereka dengan membawa uang dan bahan makanan.

Ia bahkan sempat mengecoh pegawai pabean di perbatasan antara Belanda dan Belgia, ketika mereka hendak menyelidiki barang yang dibawanya. "Bruder membawa apa?" tanya mereka. "Saya membawa rosario," kata Bernardus, "dan sebaiknya saudara pun memakai rosario." Pegawai itu terperanjat dan mengizinkan Bruder Bernardus melewati perbatasan dengan 'barang selundupannya'.

Perkembangan yang pesat sesudah itu, membuat Pastor Rutten merasa sangat gembira. Tetapi Bruder Bernardus malah merasa prihatin. Pada tahun 1848 jumlah bruder sudah berkembang menjadi lebih dari tiga puluh orang.

Apa sebabnya Bernardus merasa kurang enak karenanya? Hal itu akan menjadi lebih jelas lagi bila kita melihat bahwa 30 bruder itu tersebar pada 8 bruderan di Belanda dan Belgia. Sebenarnya baik Rutten maupun Bernardus tidak mengharapkan penyebaran tenaga ke sekian banyak tempat. Tetapi dari mana-mana masuk permintaan untuk mendapatkan beberapa orang bruder, karena bantuan mereka sangat diperlukan.

Hati Rutten lebih mudah diluluhkan dari pada hati Bernardus. Walaupun belum banyak bruder sudah siap menangani tugas yang melampaui kemampuan mereka, namun Rutten menyerah pada permintaan yang mendesak itu. Memang, Pastor Rutten mengerti bahwa pembentukan rohani itu perlu, tetapi ia cenderung menganggap, bahwa karya pelayanan sama penting dengan pendalaman semangat religius.

Bagi Bruder Bernardus ledakan aktivitas-aktivitas itu merupakan masalah yang makin sulit diatasi. Bagaimana mungkin memberikan bimbingan lebih lanjut kepada para bruder bila mereka terpencar di sekian banyak tempat? Dan siapa yang akan memerhatikan kebutuhan mereka bila mereka dibebani tugas-tugas yang sulit dan berat, yang tidak memungkinkan mereka memberikan perhatian seperlunya pada segi religius?

Pada permulaannya Bernardus masih dapat menyemangati para bruder, ketika mereka masih tinggal agak berdekatan. Kehadiran, perkataan, dan lebih-lebih teladan hidupnya, merupakan suatu dorongan dan dukungan yang kuat bagi sesama bruder dalam usaha mempertahankan semangat mereka.

Suatu kesulitan lain lagi yang timbul sebagai akibat tersebarnya para bruder. Di samping tugas sebagai Overste, pemimpin novisiat, guru di sekolah, serta pengurus macam-macam soal lain, kini Bernardus dibebani juga tugas visitasi/kunjungan tahunan ke semua biara. Beberapa di antaranya sangat jauh letaknya dari biara induk di Maastricht.

Dengan kesulitan transportasi di masa itu, perjalanan visitasi tidak saja hanya
menghabiskan banyak waktu, melainkan juga sangat melelahkan. Pada saat-saat visitasi ke biara-biara lain, Bernardus terpaksa meninggalkan tugasnya di Maastricht, sehingga tugasnya di situ sedapat mungkin harus diambil alih oleh bruder-bruder yang lain.

Syukurlah Bernardus memiliki fisik yang kuat di samping semangat iman yang tahan guncangan. Bagi kita pada zaman sekarang ini, Bruder Bernardus sungguh merupakan teladan ulung, yang tidak hanya cukup kita kagumi saja, melainkan kita ikuti dalam suka dan duka.

Masalah pemimpin kongregasi

Dalam banyak hal, Bernardus merasa berutang budi kepada Pastor Rutten, yang dihargainya sebagai seorang imam dengan cita-cita yang mulia. Tetapi sebagai pemimpin kongregasi, Bernardus merasa bertanggung jawab atas kepemimpinan para bruder di bidang hidup religius.

Maka timbul soal: kepada siapakah pembinaan serta bimbingan rohani para
bruder selanjutnya harus dipercayakan? Kepada Pastor Rutten sebagai imam, namun bukan religius, atau kepada Bruder Bernardus, yang memang religius, namun seorang awam?

Masalah ini merupakan suatu masalah yang baru di zaman itu. Sebab umumnya dianggap sebagai situasi yang normal, bahwa suatu persekutuan religius dipimpin oleh seorang imam. Rutten sendiri pun berpendapat demikian. Bahkan ia sudah mendapatkan seorang imam yang lain sebagai pembantunya yang kemudian akan menjadi penggantinya sebagai pembimbing rohani para bruder. Ia yakin, bahwa kongregasi tak mungkin bisa bertahan tanpa dia, dan ia tidak memikirkan kemungkinan menyerahkan tugas pimpinan itu kepada seorang bruder.

Bruder Bernardus memang masih harus mencari jalan yang sebenarnya ke arah pembentukan persekutuan religius yang sejati. Meskipun demikian, sebagai pemikir ia lebih mendalam dan lebih terarah dari pada Rutten, biarpun sikapnya kurang fleksibel dan kurang peka dalam menanggapi perasaan orang lain.

Walaupun antara dia dan sesama brudernya belum pernah terjadi suatu bentrokan yang sungguh, namun tidak semua bruder dapat selalu menyetujui pendapatnya mengenai corak hidup religius yang diidamkannya dan yang agak menyerupai corak hidup para Trapis.

Bernardus tak peduli akan keluhan mereka yang menganggapnya terlalu keras karena ia tidak mau memberikan kelonggaran sedikit pun dalam menghayati konstitusi dengan cara yang lebih supel. Bernardus tidak takut bersikap tegas terhadap siapa pun, jika (ia tahu bahwa) terjadi pelanggaran rutin terhadap peraturan yang telah ditetapkan.

Bernardus bukanlah seorang Overste yang paling ideal, namun ia dapat dianggap sebagai pemimpin yang paling tepat pada waktu kongregasi masih harus dibimbing melewati masa krisis 'pubertas rohani'-nya.

Perbedaan pendapat antara Rutten dan Bernardus menjadi nyata, ketika dewan pimpinan suatu panti asuhan di Amsterdam mengutus seorang Pater ke Maastricht dengan permintaan, supaya kongregasi para bruder bersedia mendatangkan beberapa bruder untuk mengurus panti asuhan itu.

Rutten langsung antusias dan setuju. Bernardus diam saja. Segala keberatan yang timbul padanya, dicatatnya pada kertas, sebab ia yakin bahwa jika ia mengangkat suaranya, keberatannya akan disapu habis oleh percakapan para imam.

Manakah keberatan-keberatan Bernardus itu? Menurut catatannya: para bruder masih kurang berpengalaman dalam hidup religius. Kebanyakan mereka baru beberapa minggu lamanya tinggal di novisiat. Bayangkan saja: para bruder, pemuda yang berasal dari lingkungan yang sederhana saja, harus menghadapi ‘segerombolan’ anak yatim piatu di kota Amsterdam. Bernardus gemetar memikirkan nasib para bruder itu.

Dalam pembicaraan itu, Rutten membatasi diri hanya pada segi keuangan saja, sebab ia khawatir, seandainya usaha itu akan gagal, ia sendiri harus menanggung kerugiannya. Bernardus terpaksa menyerah, biarpun ia merasa kasihan ketika memikirkan tugas berat yang dihadapi para brudernya. Para bruder yang akan dikirim ke Amsterdam, masih diberi suatu kursus kilat’, baik dalam hal hidup rohani, maupun dalam cara memimpin suatu panti asuhan.

Bernardus merasa kurang enak dengan perwalian dari pihak para imam itu. Beberapa bulan sebelumnya ia telah merasa dipaksa menyediakan beberapa bruder untuk mengasuh anak-anak tuna rungu di Sint Michielsgestel.

Betapapun besar dan ikhlas penghargaannya terhadap pribadi Rutten, ia khawatir bahwa dengan menyerah pada tuntutan menyediakan para brudernya untuk menjadi pekerja’ di berbagai tempat. Padahal mereka baik mental maupun spiritual belum siap. Kepentingan kongregasi sebagai lembaga religius akan sangat dirugikan.

Menurut Bernardus, perlu ada kejelasan mengenai batas-batas wewenang antara Rutten, sebagai pendiri utama kongregasi dan bruder Overste, yang dipilih sebagai pemimpin kongregasi itu. Dengan tujuan itu, Br. Bernardus dibantu beberapa ahli di bidang hidup religius, mulai menyusun suatu pedoman yang di dalamnya dengan jelas ditetapkan apa yang menjadi isi dan inti ‘Regula’ dan apa yang termasuk Konstitusi/Adat Hidup Religius’.

Dalam Regula’ ditetapkan apa yang termasuk hal-hal kepemimpinan serta dasar-dasar hidup religius. Sedangkan dalam ‘Konstitusi/Adat Hidup Religius termuat segala peraturan praktis dan semua tata krama yang sudah menjadi kebiasaan dalam persekutuan bruder.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa bruder Overste sebagai pemimpin persekutuan bruder itu, bertanggung jawab sepenuhnya atas segala sesuatu yang menyangkut urusan intern serta bimbingan rohani para bruder.

Rencana Br. Bernardus merupakan masalah prinsipial. Seandainya rencana itu akan disahkan, maka dengan sendirinya Rutten harus mengakuinya pula. Dan memang, Rutten mengerti sungguh apa yang akan menjadi konsekuensi dari rencana Bernardus. Oleh sebab itu ia menolak rencana itu sebagai suatu ‘pendapat yang khilaf’. Ia sama sekali tidak sanggup menjadi seorang pemimpin  kehormatan’ yang hanya boleh memberikan suaranya sebagai seorang penasihat.

Masalah ini menyebabkan bahwa hubungan Rutten dan Bernardus agak mendingin. Pada tahun 1845, waktu retret tahunan, Bernardus membicarakan masalah itu dengan pemimpin retret. Pemimpin itu menyatakan sanggup menghubungi Rutten dan meneliti sendiri rencana Bernardus. Ia berhasil meyakinkan Rutten, bahwa rencana yang disusun Bernardus sungguh penting untuk kelanjutan kongregasi. Lalu Rutten dan Bernardus bersama-sama menyesuaikan rencana itu lebih lanjut, kemudian menyerahkannya kepada seorang ahli supaya dinilai.

Regula tahun 1846 itu lebih bersifat suatu kompromis. Ditentukan di dalamnya, bahwa para bruder berada di bawah perlindungan vikaris di Roermond dan harus taat kepadanya. Kuasa itu dialihkannya kepada seorang direktur rohani (dalam hal ini: Pastor Rutten). Persekutuan itu akan dipimpin seorang Overste yang dipilih oleh para bruder sendiri. Direktur harus dimintai nasihat dalam hal-hal yang penting, misalnya untuk mendirikan cabang baru. Kesejahteraan duniawi dan rohani para bruder menjadi tanggung jawab bruder pemimpin.

Dilihat sepintas saja, hasil ini agak sesuai dengan apa yang diharapkan Bernardus, sebab tekanan utama diletakkan pada jabatan pemimpin. Yang masih kurang jelas ialah: ketaatan kepada direktur rohani sebagai wakil dari vikaris di Roermond. Maka semuanya akan bergantung pada kebijakan pendiri dalam menentukan sejauh mana para bruder harus taat kepadanya. Ketidakpastian itu mungkin akan menjadi sumber kesulitan.

Regula pertama disahkan oleh Takhta Suci untuk sementara

Pater yang telah bertindak sebagai perantara antara Rutten dan Bernardus, pada tahun berikutnya memberikan nasihat pula supaya Regula baru itu disampaikan kepada Takhta Suci di Roma untuk disahkan. Kebetulan Mgr. Van Wijkerslooth, yang dahulu menahbiskan Pastor Rutten, mengajaknya menjadi teman seperjalanan ke Roma. Rutten dengan senang hati menerima ajakan itu.

Dari vikaris di Roermond dan sekretaris Wilmer ia mendapat banyak surat pujian, di dalamnya disebutkan antara lain bahwa Pastor Rutten adalah seseorang yang besar jasanya. Ia telah mendirikan sebuah persekutuan bruder di kota kelahirannya. Bagi mereka ia telah membangun sebuah biara yang bagus, Iengkap dengan segala fasilitas, khususnya sebuah gereja yang indah dan besar (yang dimaksud ialah kapel bruderan yang pada tahun 1846 diberkati oleh vikaris di Roermond).

Demi kemuliaan Tuhan dan demi keselamatan 800 anak kecil yang miskin ia memberikan pendidikan agama Katolik. Semua itu dilakukannya dengan mengorbankan segala yang dimilikinya. Akhirnya vikaris memohon supaya Takhta Suci berkenan mengesahkan Regula yang dibawa Pastor Rutten tersebut.

Ketika Pastor Rutten tiba di Roma, ia berlagak sebagai seorang pejabat Gereja yang penting sehingga ia dapat memasuki ruang sidang dewan kepausan. Seusai audiensi, Rutten meninggalkan di meja dewan itu surat-surat permohonan pengesahan serta surat untuk memperoleh beberapa anugerah. Perbuatan itu sangat bertentangan dengan adat kebiasaan di lingkungan Takhta Suci. Seorang sekretaris dewan berusaha mengejar Rutten untuk mengembalikan surat-surat itu, tetapi Rutten sudah menghilang.

Penerjemahan ke dalam bahasa Latin dari teks Regula itu bersama surat pengantar diserahkannya kepada Prefek dewan Takhta Suci. Di dalamnya Rutten menulis, bahwa ia sangat mengharapkan agar pengesahan Regula itu sedapat mungkin diselesaikan sebelum ia meninggalkan Roma, karena ia ingin sekali menggembirakan hati para brudernya dengan berita pengesahan itu.

Tentu saja semuanya tidak berjalan selancar itu. Menurut salah seorang peneliti Regula itu, isinya memang cukup baik, tetapi bahasa Latinnya masih perlu disempurnakan. Dalam laporan lebih lanjut dikemukakan dua keberatan lain lagi, yaitu mengenai hal kepemimpinan dan keuangan.

Di samping itu, ketentuan bahwa vikaris di Roermond dapat bertindak sebagai pemimpin tertinggi kongregasi, tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab ketentuan itu dapat menimbulkan kesulitan dengan wewenang pemimpin gereja di wilayah-wilayah lain, tempat kongregasi mempunyai cabang. Apalagi, seorang vikaris tak mungkin dapat mengenal kongregasi serta para anggotanya sedemikian rupa, sehingga ia dapat memerhatikan segala kepentingan dengan secukupnya.

Mengenai soal keuangan, hal itu sama sekali tidak disebut dalam Regula. Kelalaian itu tidak dapat dibenarkan, sebab akan menjadi sumber kesulitan. Maka diusulkan agar pada saat pendiri kongregasi meninggal, seorang bruder akan dipilih sebagai pemimpin umum oleh para anggota. Dengan demikian tidak perlu lagi masih ada seorang direktur rohani. Pemimpin umum, dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya, tidak akan bergantung pada pemimpin gereja setempat.

Selanjutnya Regula itu mendapat pengesahan untuk sementara sambil menantikan pengesahan definitif. Sementara itu masih ada kesempatan menyusun Konstitusi sebagai rincian dan pelengkap Regula, yang sampai saat itu belum dapat dilaksanakan dengan sesungguhnya, sebab belum ada tradisi hidup membiara pada waktu itu. Dengan demikian, teks Regula dari tahun 1846 mendapat pengesahan pada tahun 1848 untuk sementara dengan syarat, bahwa dalam waktu beberapa tahun lagi harus diajukan suatu teks yang disempurnakan; yang kemudian akan disahkan secara definitif.

Dari semua ketentuan tersebut menjadi jelas, bahwa pendapat Br. Bernardus mengenai hal kepemimpinan, dengan sepenuhnya didukung oleh Takhta Suci. Biarpun Roma tidak langsung membatalkan kedudukan direktur rohani demi rasa hormat kepada vikaris di Roermond.

Mungkin Rutten tidak dengan sepenuhnya merasa gembira dengan pengesahan Regula itu. Sekarang ia tak dapat lagi mengambil keputusan mengenai hal yang berhubungan dengan hidup dan karya para bruder. Sebaliknya dengan pengesahan sementara itu, Br. Bernardus mempunyai pegangan yang lebih kuat untuk melaksanakan perubahan yang dianggapnya perlu demi kepentingan rohani para bruder.

Begitulah Kongregasi FIC tumbuh dan berkembang di Belanda. Dalam waktu-waktu selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan Kongregasi FIC tetap diwarnai kondisi-kondisi yang tidak mudah. Namun proses pematangan dan pendewasaan hidup Kongregasi FIC tetapi terjadi. Itu suatu hal yang pantas disyukuri.