Setelah ditahbiskan menjadi seorang imam, Pastor Ludovicus Hubertus Rutten diutus ke Maastricht, kota tempat kelahirannya hingga masa dewasa sebelum memulai niatnya untuk menjadi imam.
Maastricht terletak di Belanda bagian selatan. Sejak masa kecil Ludovicus Rutten hingga ia kembali setelah menjadi imam, Maastricht adalah sebuah kota dengan pabrik-pabrik besar. Para pekerja di pabrik-pabrik itu sangat miskin. Pada masa itu kehidupan di Belanda sangat berbeda dengan sekarang. Pada masa itu hampir tidak ada hukum sosial maupun layanan kesejahteraan bagi para buruh pabrik. Para pekerja dieksploitasi; upah mereka sangat rendah; mereka harus bekerja dengan jam kerja yang panjang, dan di atas semua itu, pekerjaan itu sering kali berbahaya bagi kesehatan mereka.
Karena penghasilan para pria sangat sedikit, bahkan sangat kecil, para istri mereka juga ikut bekerja di pabrik, dan seringkali bahkan beberapa anak mereka juga dipekerjakan di pabrik. Jadi, mereka tidak bersekolah dan akibatnya mereka hampir tidak belajar apa pun. Pada siang hari tidak ada yang menjaga anak-anak yang lebih kecil; mereka berkeliaran di jalanan kota Maastricht dan tidak banyak belajar.
Para pekerja benar-benar miskin seperti Ayub. Para pekerja pabrik yang miskin ini tinggal di rumah-rumah batu bata yang sederhana. Di rumah batu bata yang sederhana itu, satu keluarga hanya memiliki satu kamar. Kamar-kamar lainnya ditempati oleh keluarga-keluarga lain. Mereka adalah keluarga-keluarga yang terpisah-pisah (independen), yang sering bertengkar satu sama lain dan menyebabkan banyak masalah di antara mereka. Di rumah-rumah besar itu ada banyak kesengsaraan dan keputusasaan.
Orang yang tidak bahagia terkadang mencari penghiburan dalam alkohol. Hal ini juga terjadi di Maastricht pada waktu itu. Banyak pekerja yang menghabiskan hampir seluruh upahnya untuk membeli minuman keras. Hal ini sesungguhnya membuat penderitaan mereka semakin parah.
Tidak ada cukup makanan untuk anak-anak dari keluarga miskin itu. Kondisi ini menyebabkan anak-anak menjadi sakit dan lemah. Ada banyak anak yang sakit, banyak anak yang mati muda. Lebih dari sekali ayah dan ibu dari bayi yang baru lahir menelantarkannya, berharap ada orang lain yang akan menemukan dan merawatnya. Mereka berpikir bahwa mereka sendiri terlalu miskin untuk merawat bayi yang baru dilahirkan itu.
Anak-anak dari para pekerja miskin ini juga tidak tahu apa-apa tentang agama. Dari orang tua mereka, mereka hampir tidak pernah mendengar tentang hal itu dan mereka tidak pergi ke sekolah, dan mereka hampir tidak pernah melihat seorang imam.
Anak-anak semacam inilah yang ingin diasuh oleh Rutten segera setelah ia menjadi seorang imam dan kembali ke Maastricht. Perjumpaan Rutten dengan kehidupan yang diwarnai kemiskinan dan kemalangan anak-anak dari keluarga miskin itu telah mengoyak kesadaran dirinya. Ia merasa dituntut untuk ikut bertanggungjawab atas kebermartabatan hidup dan keselamatan jiwa orang-orang miskin, khsusunya anak-anak miskin di Maastricht pada waktu itu. Dan tiba-tiba Rutten berubah menjadi seorang yang berbeda dengan lima atau sepuluh tahun sebelumnya. Ia bukan lagi pemuda melankolis yang bermasalah dengan sakit perut, ragu-ragu, atau selalu meragukan apa yang diinginkannya. Rutten telah hidup dengan kepribadian yang kuat, yang tahu persis apa yang ingin harus ia lakukan dan ia terus maju.
Pada tahun 1837, Rutten mulai mengumpulkan anak-anak di sebuah koridor di gereja terbesar di Maastricht, Gereja St. Servaas. Rutten memulai dengan mengumpulkan lima anak. Ia mengajarkan anak-anak itu pengetahuan agama.
Dalam beberapa hari saja jumlah anak yang mengikuti pendampingannya dengan cepat meningkat menjadi 30 dan 50 anak. Beberapa waktu kemudian menjadi 200 dan 300 anak. Apa yang ada pada diri imam muda ini sehingga semua anak jalanan di kota Maastricht itu merasa tertarik kepadanya? bukan untuk bermain-main, bukan untuk mendapatkan permen, tetapi untuk mendengarnya bercerita? Itu realitas yang sulit untuk dimengerti.
Beberapa bulan kemudian, Rutten memulai semacam sekolah malam untuk sekitar 120 pemuda berusia 20 hingga 25 tahun. Seorang guru dan Rutten sendiri mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Rutten juga memberikan pelajaran agama kepada para pemuda ini.
Pada tahun yang sama, ia membuat rencana lain: akan ada sebuah sekolah taman kanak-kanak untuk anak-anak kecil yang ayah dan ibunya bekerja di pabrik. Anak-anak dapat dihibur dengan cara yang menyenangkan. Dan pada saat yang sama mereka dapat belajar sesuatu tentang agama. Enam bulan kemudian, sekolah penitipan anak itu menjadi kenyataan.
Pada waktu itu, hampir membuat orang tidak percaya melihat apa yang dicapai oleh Pastor Rutten, yang sebelumnya mereka kenal sebagai pemuda yang sakit-sakitan. Pasti ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian anak-anak itu, yang membuat orang-orang percaya padanya dan menginspirasi mereka untuk membantunya; karena, jelas sekali, dia tidak bisa mengatasinya sendirian lagi.
Pada realitas ini tampaklah kuasa Allah yang bekerja pada Pastor Rutten. Apa yang dilakukan oleh Pastor Rutten sesungguhnya adalah karya Allah untuk menyelematkan jiwa umat-Nya. Allah menggunakan tubuh Rutten untuk mewujudkan karya keselamatan-Nya bagi orang-orang miskin di kota Maastricht pada waktu itu.
Karena tempat yang digunakan Rutten untuk mendampingi anak-anak miskin itu sudah terlalu sempit, kepala paroki Gereja St. Servaas memberi ijin kepada Rutten untuk memindahkan aktivitasnya ke serambi gereja. Dengan biaya yang ditanggung sendiri oleh Rutten, ia memperbaiki tempat itu dan ‘menghiasinya’ dengan bangku-bangku besi. Rutten bekerja di situ setengah tahun lamanya. Jumlah anak yang didampingi kini menjadi 200 sampai 300 orang. Mereka diberi pelajaran agama secara bergilir selama satu jam sehari. Rutten juga memberikan pakaian kepada sebagian di antara mereka.
Semangat kerja Pastor Rutten tidak mengenal batas. Belum sampai tiga bulan lamanya ia sibuk dengan memberikan pelajaran agama kepada anak-anak kecil itu, ia memutuskan akan menangani masalah kaum remaja juga. Dalam bulan oktober tahun peftama itu (1837) ia membuka sebuah sekolah sore bagi 120 pemuda yang berumur antara 17 dan 20 tahun. Pelajaran itu diberikan di rumah seorang guru yang sekaligus juga menjadi pemimpin sekolah itu. Rupanya karya itu mendapat berkat dari surga, sebab makin banyak pemuda datang mendaftarkan diri.
Tetapi ada pula perhatian dari pihak lain. Pada suatu hari, sekolah itu didatangi kapten polisi rahasia, yang mencatat nama semua hadirin dan membuat laporan tentang segala hal yang dilihatnya. Karena pemimpin sekolah mempunyai ijazah guru, maka tidak ada tindakan lebih lanjut, dan Pastor Rutten sendiri, yang tidak memiliki ijazah, dapat meneruskan tugas mengajar dan memberikan pelajaran agama.
Ketika sebulan kemudian (November 1837) Pastor Rutten berkunjung ke sebuah kota di Belgia, ia terkesan melihat sekolah taman kanak-kanak yang diselenggarakan oleh para suster. Seketika itu juga ia memutuskan akan membuka sekolah serupa itu di kota Maastricht. Dari ayahnya ia membeli bagian dari rumah keluarganya. Dalam riwayat hidupnya ia menulis:
“Tuhan yang mahabaik telah menolong saya membuka tiga jenis karya di kota Maastricht. Penyediaan peralatan untuk sekolah taman kanak-kanak berjalan lancar. Sekolah itu dibuka dalam bulan Mei 1838 dan dikelola seorang mantan tukang sepatu bersama dengan dua orang putrinya. Bagi mereka saya sediakan perumahan tanpa pembayaran uang sewa dan di samping itu mereka saya beri gaji bulanan sedikit. Semua ongkos penyelenggaraan ketiga karya itu menjadi tanggungan saya sendiri.”
Walaupun ayah Pastor Rutten kurang senang dengan jenis karya yang ditangani anaknya yang berstatus imam itu, namun ia sanggup menyediakan dana cukup banyak untuk membantunya. Meskipun demikian, kadang-kadang ada saat Pastor Rutten agaknya tidak tahu akal lagi bagaimana ia dapat mencukupi segala ongkos itu.
‘Tetapi’, tulisnya, “Penyelenggara Ilahi serta Maria, Bunda yang manis itu, tak pernah membiarkan saya dan sering saya menerima bantuan dari pihak yang tak terduga.”
Dari beberapa teman imam pun ia mendapat dukungan moral. Tetapi, umumnya ia lebih banyak menerima kritik terselubung dan blak-blakan serta perlawanan daripada dukungan. Pastor kepala paroki, yang maju mendahului Pastor Rutten dalam pelaksanaan rencananya membuka sebuah sekolah taman kanak-kanak dan sekaligus juga hendak mengawasinya dengan lebih baik, menawarkan kepada Rutten tugas sebagai pastor pembantu di sebuah paroki yang lain. Tetapi Rutten menolak tawaran itu dan tetap berpegang pada niatnya untuk mengabdikan diri kepada anak-anak miskin dan telantar. Maka, pastor kepala itu terpaksa membatalkan niat untuk membuka sendiri taman kanak-kanak; ketika ia mendengar bahwa Pastor Rutten tidak begitu saja dapat “diringkus”-nya.
Ada juga pihak lain yang sama sekali tidak senang dengan aktivitas-aktivitas Pastor Rutten. Ketika penduduk kota yang tidak beragama Katolik mendengar, bahwa Rutten telah membuka sebuah sekolah taman kanak-kanak, maka mereka berusaha sedapat mungkin menggagalkan usaha Pastor Rutten.
Kepada khalayak ramai di kota dimaklumkan, antara lain melalui iklan di surat kabar, "bahwa di kota Maastricht akan dibuka sebuah sekolah taman kanak-kanak; bahwa sudah ada sekolah serupa itu yang telah dibuka oleh Pastor Rutten, hendaknya mereka diamkan saja."
Syukurlah ada beberapa teman Rutten yang memromosikan sekolah Rutten lewat surat edaran dan iklan, dan mereka berhasil menggagalkan niat para penentang untuk mendirikan taman kanak-kanak sendiri. Berkat dukungan mereka, pada tahun 1839 Pastor Rutten bahkan berani membuka sekolah taman kanak-kanak yang kedua di paroki Bunda Maria.
Yang kurang disenangi Pastor Rutten yaitu perhatian dari pihak polisi rahasia, yang tidak begitu saja mau mengalah. Berulang-ulang mereka dengan mendadak mendatangi sekolah-sekolah Rutten untuk meninjau dan memeriksa segala sesuatu.
Ada tokoh-tokoh di kota yang menasihatinya agar berhati-hati, sebab ia selalu diintai polisi. Ia menulis: “Saya mendengarkan nasihat mereka, tetapi dengan percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi serta perlindungan Bunda Maria yang Tak Bernoda, kepada siapa saya mempersembahkan segala karya saya, saya meneruskan karya saya, memang dengan hati-hati namun penuh keberanian juga”.
Dalam suratnya kepada sahabatnya, Pastor Wilmer, yang menjadi sekretaris vikep di Den Bosch, Pastor Rutten menulis bahwa pendidikan dan pengajaran Katolik hari demi hari berkembang dengan amat pesatnya, sehingga diharapkan agar paroki-paroki lain juga memulai usaha yang serupa.
Sekarang sudah ada 300 murid yang terbagi menjadi tiga kelompok, yang setiap hari selama beberapa jam diberi pelajaran, dengan dibantu oleh beberapa orang yang baik serta beberapa murid yang paling maju. Kerajinan para murid dirangsangnya dengan kadang-kadang menyediakan hadiah-hadiah kecil bagi murid yang paling sungguh berusaha.
Sebagai akibat perkembangan karyanya, Pastor Rutten bergelut dengan suatu masalah yang makin hari makin mencekamnya. la makin yakin bahwa mustahillah semua karyanya dapat diteruskan dengan hasil seperti diidam-idamkannya, jika ia hanya dibantu oleh beberapa sukarelawan saja. Sebab bagaimanapun, mereka tak dapat bekerja terus tanpa mendapat sekedar imbalan jasa. Kantong Pastor Rutten terbatas isinya dan makin menipis.
Maka jelaslah bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah itu, karyanya harus didukung dan dilestarikan dengan adanya semangat pengabdian dari pihak kaum religius. Ia mendatangi kepala paroki, meminta supaya beberapa suster yang sudah berkarya di paroki itu (yaitu suster Kongregasi Santo Carolus Boromeus - CB) dibolehkan membantunya dalam pelaksanaan karya pendidikannya. Permintaan itu ditolak.
Kemudian ia bertanya kepada pendiri sebuah kongregasi suster yang lain (yaitu Pastor Zwijsen di kota Tilburg) apakah ia rela membantunya. Pastor Rutten menulis dalam autobiografinya:
“Ketika kemudian saya bertemu lagi dengan Pastor Zwijsen, kami sepakat akan mendirikan suatu persekutuan bruder untuk melanjutkan karya kami. Saya mengharapkan beliau akan mulai lebih dahulu, lalu beberapa bruder akan dikirim ke Maastricht. Tetapi beliau menolak usul saya. Sebab, katanya hal itu menjadi urusan saya sendiri. Setelah malam lewat dan saya tak bisa tidur, maka esok harinya saya berkata kepadanya bahwa saya dengan percaya pada pertolongan Tuhan serta perlindungan Bunda Maria, siap untuk memulai, asal beliau mau mencarikan dua calon bagi saya. Hal itu dijanjikannya. Dengan demikian rencana saya telah selesai saya buat.”
Memang, rencana itu telah selesai dibuat. Tetapi Rutten tidak mau mulai melaksanakannya tanpa lebih dahulu meminta persetujuan kepada vikep di Den Bosch. Segera setelah pembicaraan dengan Pastor Zwijsen, pergilah ia ke seminarinya yang dahulu untuk mengadakan retret. Di situ rencananya didalami lebih lanjut.
Rencana itu (yang oleh Pastor Rutten disebut ‘Proyek’) sebenarnya hanya merupakan perumusan pertama yang agak samar mengenai tujuan proyeknya. Tentang banyak hal ia belum mempunyai gambaran yang jelas. Meskipun begitu, di dalam rumusan proyek itu dengan jelas terkandung cita-cita Rutten, yaitu mendirikan sebuah kongregasi pria, yang hidup berdasarkan semangat Injil, tetapi yang berdiri dan bergerak di tengah gereja dan dunia zaman itu. Ada pula ketentuan bahwa mereka selalu bersedia pergi ke tempat yang memerlukan kehadiran dan jasa mereka.
Dalam dokumen itu Pastor Rutten berbicara tentang 'tujuan sementara' persekutuan itu. Belum ada suatu apapun yang sudah ditetapkannya, karena ia merasa perlu memikirkan berbagai masalah lebih lanjut.
Praktik hidup serta karya para bruder harus menunjukkan bagaimana hidup dan karya persekutuan itu akan dapat dihayati serta diamalkan dengan sebaik-baiknya pada waktu mendatang. Yang menjadi jelas dalam isi 'proyek' itu yaitu bahwa Pastor Rutten tidak bermaksud mendirikan sebuah kongregasi yang tujuannya terarah hanya ke bidang pendidikan dan pengajaran saja. Memang ia hendak melawan mentalitas bermasa bodoh terhadap agama seperti nyata di mana-mana, dan tujuan itu hendak dicapainya antara lain lewat pendidikan agama dan pendidikan umum juga, tetapi kongregasi seperti diidamkannya harus sanggup pula melayani manusia dalam setiap bentuk penderitaan dan kebutuhan.
Untuk mewujudkan proyek yang disusunnya itu, Rutten mulai berusaha mendapatkan pemuda yang mau bergabung dengan proyeknya itu.